Bertaruh dengan Bumi: Bagaimana masa depan kita bisa jauh lebih parah
Selain pandemi COVID-19 dan resesi perekonomian yang mengiringinya, patut ingat bahwa ada satu krisis lagi yang menggentayangi kita: perubahan iklim. Dunia secara rata-rata telah menghangat lebih dari 1,1 derajat Celcius sejak Revolusi Industri, dan 9 dari 10 tahun terhangat dalam rekaman sejarah (sejak 1880) terjadi sejak 2005. Perubahan iklim meninggalkan jejaknya dalam bencana-bencana layaknya azab dari kitab suci, seperti kebakaran hutan di Siberia, badai-badai yang semakin kuat, sampai wabah belalang yang melanda Afrika Timur. Seiring memburuknya perubahan iklim, kita bisa melihat lebih banyak cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut, perubahan ekosistem, dan kematian spesies.
Kemalangan kita kini ditimbulkan oleh kita sendiri. Perubahan iklim adalah konsekuensi dari peningkatan standar hidup sebagian besar umat manusia yang masih bergantung pada pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer bumi. Tindakan tidak berkelanjutan ini mengorbankan kesejahteraan umum berjangka panjang demi manfaat sesaat yang dinikmati segelintir. Namun, mengingat iklim planet kita itu rumit dan sulit diprediksi, “perdagangan” tersebut bukanlah pertukaran jelas yang bisa “dioptimisasi” dengan mudah. Ketika kita lalai dalam menangani krisis iklim, kita nyatanya sedang berjudi dengan taruhan yang sangat besar: nasib kita dan dunia kita.
Hidup dalam rumah kaca
Dengan suhu rata-rata permukaan di kisaran 15 derajat Celsius, Bumi memiliki suhu yang sesuai untuk tumbuhnya kehidupan. Kondisi kondusif tersebut diperoleh karena ada gas-gas di atmosfer Bumi yang bertindak layaknya lapisan rumah kaca. Gas rumah kaca — seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O), dan gas halokarbon — meneruskan cahaya matahari ke permukaan Bumi sembari memerangkap sebagian panas yang seharusnya memantul ke luar angkasa. Walau mereka hanya membentuk sepersepuluh persen dari atmosfer Bumi, mereka mampu membuat permukaan Bumi 33 derajat Celcius lebih hangat.
Suhu rata-rata dunia memang bervariasi dalam ratusan ribu tahun terakhir seiring Bumi keluar-masuk zaman es. Naik turunnya kadar gas rumah kaca menjelaskan sebagian besar naik turunnya temperatur tersebut; ketika tingkat CO2 (yang merupakan gas rumah kaca terbanyak) meningkat, permukaan bumi turut memanas. Beberapa faktor alamiah lain juga bertindak sebagai pendorong (forcings) yang mempengaruhi iklim dunia, seperti beredarnya gas dan aerosol berjangka pendek, variasi radiasi matahari, dan bahkan pantulan cahaya dari lapisan es. Meskipun begitu, perubahan ini terjadi dalam waktu yang relatif panjang, seperti yang diilustrasikan garis waktu ini. Bahkan, temperatur dan tinggi permukaan laut global cukup stabil dalam 10.000 tahun terakhir, memungkinkan manusia untuk membangun peradaban.
Namun, semuanya berubah saat Revolusi Industri menyerang. Proses industrialisasi dan modernisasi yang berlangsung sejak 1750 meningkatkan jumlah dan kesejahteraan umat manusia. Penduduk Bumi membengkak dari 990 juta jiwa pada 1800 menjadi 7,7 miliar pada 2019, sementara PDB per kapita dunia pada 2010 meningkat sepuluh kali lipat dibanding pada 1820.
Kemajuan ini dibayar dengan pengorbanan besar. Penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber energi dunia modern dan penggunaan lahan untuk tempat tinggal dan pertanian melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC, badan PBB yang bertanggung jawab atas sains perubahan iklim) memperkirakan bahwa kegiatan manusia antara 1750 dan 2011 telah melepaskan 555 gigaton karbon. Per 2018, dunia melepaskan 36,58 miliar ton karbon dioksida, nyaris enam kali pelepasan pada 1950. Pada Mei 2020, konsentrasi CO2 mencapai 417 ppm, tingkat yang mungkin tertinggi dalam delapan juta tahun terakhir. Melonjaknya kadar gas-gas ini memperkuat efek rumah kaca, yang menghangatkan Bumi kita lebih cepat dibanding kemampuan sebagian besar makhluk hidup untuk beradaptasi.
Domino dan gelas tumpah
Penghangatan dari pendorong iklim, baik yang alamiah atau yang disebabkan oleh manusia, bisa diperkuat dengan adanya efek umpan balik (feedback loops). Seperti domino tak terhingga, umpan balik positif merupakan reaksi berantai yang terus-menerus memperbesar dampak dorongan awal sampai sistem mencapai stabilitas baru. Ambil contoh lapisan es, yang memantulkan panas dengan baik sebab warnanya yang putih. Semakin menghangatnya dunia, semakin banyak es laut yang mencair dan semakin berkurang juga kemampuan Bumi dalam memantulkan panas. Namun, ini baru awal dari sebuah lingkaran setan. Air laut yang berwarna gelap bisa menyerap lebih banyak panas, sehingga lebih cepat melelehkan es dan mengulangi proses ini. Lingkaran setan yang mendorong pemanasan global juga ditemukan dalam pembentukan uap air, pelepasan karbon dan metana dari lapisan permafrost, pelemahan penyerap karbon (carbon sinks), serta pelepasan karbon dari pernapasan mikroba dan kematian hutan.
Sebaliknya, ada umpan balik negatif yang meredam dampak pendorong dan menjaga stabilitas sistem. Pemanasan global meningkatkan penguapan sehingga memperbanyak awan. Awan di ketinggian tinggi memerangkap panas, menyebabkan umpan balik positif. Tetapi, awan di ketinggian rendah memiliki efek pendingin yang bisa mengurangi pemanasan global. Pertambahan karbondioksida di atmosfer juga bisa “dihisap” oleh penyerap karbon seperti tumbuhan dan lautan. Meskipun begitu, umpan balik negatif ini tidak mampu mengimbangi peningkatan pendorong dan umpan balik positif. IPCC memperkirakan penyerap karbon di darat dan laut hanya “menyedot” 315 gigaton karbon yang dilepaskan manusia, menyisakan 240 gigaton di atmosfer. Seiring menghangatnya laut dan tanah, kemampuan menghisap karbon mereka berkurang dalam lingkaran setan umpan balik positif.
Umpan balik positif yang gagal ditahan ini menyeret kita ke titik kritis (tipping points), ambang batas di mana perubahan kecil memicu perubahan besar yang mendorong sistem iklim ke stabilitas baru yang lebih parah. Jika kita perlahan-lahan memiringkan gelas berisi air, akan ada saat di mana seluruh airnya akan tumpah. Layaknya kita tidak bisa mengembalikan air tersebut ke dalam gelas, kita tidak bisa kembali ke keadaan iklim awal walau kita sudah mengurangi pendorong iklim (seperti gas rumah kaca). Pada saat ini, efek umpan balik positif berjalan lepas dan secara tidak terkendali menghangatkan Bumi
Gambar di bawah menunjukkan titik-titik kritis aktif yang dirangkum oleh tim peneliti pimpinan Timothy Lenton dari University of Exeter pada 2019. Dalam beberapa ambang batas, melampaui titik kritis bisa memicu dampak non-linear mendadak. Misalnya, perubahan hutan hujan Amazon menjadi sabana dapat berlangsung dalam hanya 50 tahun setelah titik kritis dilampaui.
Dalam ambang batas lainnya, terutama yang melibatkan pelelehan massa es, mungkin ada keterlambatan antara dilewatinya titik kritis dengan respons. Efek yang terjadi juga bisa lebih perlahan, walau tetap pasti. Ambang batas pelelehan es di Antartika dan Greenland semakin mendekat (jika tidak sudah dilalui), sehingga memastikan kenaikan permukaan laut setinggi 10 meter. Namun, proses pencairan mereka berlangsung dalam skala ribuan tahun, bergantung pada tingkat penghangatan di atas titik kritis.
Titik-titik kritis di atas bisa saling berkaitan, di mana ditembusnya satu titik kritis meningkatkan risiko titik kritis lain dilampaui. Mencairnya es di daerah Artik dan Greenland meningkatkan kadar air tawar di Samudera Atlantik utara, sehingga memperlambat Atlantic Meridional Overturning Circulation (AMOC), arus laut yang penting bagi perputaran panas global. Perlambatan AMOC dapat mengeringkan hutan hujan Amazon, sehingga mempercepat laju menuju titik kritis di sana. Pada 2018, tim pimpinan Will Steffen telah mengidentifikasi tiga klaster efek riak potensial berdasarkan perkiraan suhu ambang batas mereka: pada suhu 1–3 derajat Celcius, 3–5 derajat Celcius, dan lebih dari 5 derajat Celcius. Namun, terpicunya satu klaster dengan ambang batas rendah dapat meningkatkan temperatur global, sehingga memicu klaster lain pada suhu yang lebih tinggi. Akibatnya, seperti yang ditulis tim Timothy Lenton, mungkin ada sebuah titik kritis global yang dapat memicu efek riam yang mengantarkan kita ke skenario Bumi rumah panas (hothouse earth) bersuhu tinggi.
Bola kaca buram untuk Bumi yang rumit
Pengetahuan terkait perubahan iklim telah berkembang cukup jauh sejak penemuan hubungan karbon dioksida dan suhu bumi oleh Svante Arrhenius pada abad ke-19. Dikembangkan dari perangkat lunak untuk perkiraan cuaca, model iklim terkini melihat bagaimana gas rumah kaca mempengaruhi aliran panas, energi, dan air untuk memprediksi iklim di masa depan.
Meskipun begitu, masih banyak misteri tak terjawab dari hal-hal yang telah kita ketahui (known unknowns) dan dari berbagai hal yang belum kita ketahui (unknown unknowns). Misalnya, kita belum bisa memastikan seberapa jauh Bumi menghangat dan permukaan laut meninggi, dan kita bisa saja belum mengungkap semua mekanisme umpan balik. Segala ketidakpastian ini membatasi kemampuan kita untuk memprediksi masa depan dan menetapkan masa kini. Mengapa bola kaca iklim kita begitu buram?
Pertama, kita perlu ingat bahwa manusia tidak sempurna. Kita memiliki kemampuan terbatas dalam memperoleh dan mengukur data, menyusun model yang akurat, dan memahami dunia terlepas dari segala bias dan ketidaktahuan kita. Kekurangan ini melahirkan ketidakpastian defisit (deficit uncertainty). Data dan pengamatan yang digunakan untuk menyesuaikan model relatif sedikit. Misalnya, upaya serius untuk memperoleh data terkait proses penyerapan panas yang dilakukan laut baru dimulai pada awal 2000an. Selain itu, model yang kita gunakan masih kalah rumit dengan kepelikan sistem iklim dunia. Walau model-model iklim telah membagi segala di atas permukaan bumi menjadi jutaan sel, ukuran setiap sel masih terlalu besar untuk menangkap semua intrik iklim (seperti awan yang berukuran relatif kecil).
Namun, bumi sendiri memang merupakan sistem yang rumit. Ada banyak fenomena kompleks dan dinamis yang berinteraksi dengan berbagai sistem dan faktor yang saling berkaitan. Kita saja belum tentu mengetahui semua mekanisme ini. Segala kepelikan ini melahirkan ketidakpastian kompleks (complex uncertainty), seperti yang kita alami dalam menentukan letak titik-titik kritis beserta besaran dampak menembusnya. Meningkatkan kompleksitas belum tentu mengurangi ketidakpastian, sebab suatu dinamika (seperti kerentanan lapisan es) dapat ditangkap dalam berbagai cara oleh model-model yang berbeda. Mereka pun bisa menghasilkan rentang ketidakpastian yang lebih luas, dibanding ketika fenomena tersebut tidak dimasukkan ke model.
Kesemrawutan tingkah umat manusia sebagai pendorong utama perubahan iklim mungkin menjadi sumber ketidakpastian yang paling besar. Bagaimanapun juga, umat manusia sangat mampu mengejutkan diri sendiri dengan segala kecerdasan dan kebodohannya. Apakah kita berhasil menemukan dan menyebarluaskan teknologi emisi negatif untuk menjaga penghangatan global (relatif suhu pra-Revolusi Industri) di bawah 2 derajat Celcius (diusahakan 1,5 derajat), seperti janji kita di Paris pada 2015? Apakah setiap negara, dari yang maju sampai berkembang, bisa menerapkan komitmen yang sesuai janji tersebut tanpa tergoda manfaat ekonomi jangka pendek? Atau apakah ancaman titik kritis mendorong kita untuk bertaruh dalam teknologi geo-engineering yang tidak kalah berisiko? Peramal sekelas Nostradamus sekalipun mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Tanda seru dari tanda tanya
Semua tanda tanya ini bukan berarti bahwa kita harus menunggu untuk kepastian. Ketidakpastian berarti bahwa peluang dan kerusakan dari menembus ambang batas mungkin lebih kecil dari yang sebelumnya diperkirakan, namun apakah kita mau mengambil resiko bahwa ia bisa menjadi jauh lebih besar? Semakin kita menunda tindakan, semakin sedikit waktu kita untuk bertindak sementara waktu yang tersisa untuk memperlambat kerusakan semakin menipis.
Walau ada yang menganggap keberadaan titik kritis global spekulatif, kita tidak bisa mengesampingkan ancaman yang begitu besar risiko dan urgensinya. Kelalaian atas ini bisa menghasilkan “kenyamanan palsu”, seperti yang sebelumnya ditawarkan analisis biaya manfaat dari beberapa ekonom. Misalnya, model William Nordhaus (pemenang Nobel Ekonomi 2018) mencapai kesimpulan bahwa penghangatan 3 derajat Celcius pada tahun 2100 itu optimal, jauh di atas target Persetujuan Paris. Mengejar manfaat neto maksimal dari pemanasan global berdasarkan perhitungan mereka sama saja dengan mempertaruhkan nasib peradaban.
Adanya peluang efek umpan balik positif yang lebih kuat dibanding dampak manusia terhadap iklim juga mempersempit trayek masa depan planet kita dengan menghilangkan skenario-skenario antara. Seperti yang ditunjukkan diagram di bawah (dibuat oleh tim Will Steffens), kita sedang menuju ke masa depan di mana kita bisa menembus ambang batas planet dan melaju ke stabilitas baru dalam bentuk skenario bumi rumah panas. Penghangatan tak terkendali dalam waktu yang relatif cepat akan memiliki risiko kesehatan, ekonomi, stabilitas politik, dan kelayakan huni Bumi bagi kita. Usaha menekan pemanasan global pun akan semakin sulit sebab dibutuhkan energi yang banyak untuk keluar dari ceruk ini.
Misalnya Bumi telah melewati ambang ini, bukan berarti tindakan kita menjadi tidak berguna. Seperti dalam kasus pencarian es, tidak tertutup kemungkinan bahwa upaya yang manusia lakukan dapat mengendalikan kecepatan kerusakan alam.
Jika kita belum menembus ambang batas ini, kita mungkin bisa menghindari ambang ini dan bergerak menuju posisi Bumi yang lebih stabil. Meskipun begitu, kondisi ini tetap tidak surgawi. Pada penghangatan 2 derajat Celcius saja, kita akan menghadapi lebih banyak gelombang panas, permukaan laut yang meninggi hampir setengah meter, dan berkurangnya produksi pangan serta perikanan. Lebih dari sepersepuluh ekosistem di dunia akan berubah dan 99% terumbu karang akan berkurang. Layaknya orang yang berdiri di tepi jurang, kita pun rentan untuk jatuh sebab gejolak kecil dari alam dapat menjerumuskan kita untuk menembus ambang batas Bumi.
Pemikiran dan tindakan radikal kini dibutuhkan demi menyelamatkan peradaban kita. Kita telah mencapai beberapa kemajuan; per 2016, karbon dioksida yang dihasilkan per energi telah berkurang 12,9% sejak 1965, sementara energi yang dibutuhkan untuk menciptakan satu unit PDB berkurang 44,4% pada periode yang sama. Ini belum cukup. Kita perlu menembus kumpulan ambang batas dalam sistem sosial dan ekonomi kita agar bisa memicu efek umpan balik yang meningkatkan penggunaan teknologi dan kebiasaan baik secara drastis. Penggunaan kendaraan listrik di Norwegia dan energi terbarukan di Inggris yang meluas secara pesat menjadi bukti bahwa kita bisa mencapai ini — dengan kombinasi kebijakan dan kerjasama yang tepat, tentunya. Paradigma-paradigma segar juga diperlukan untuk memandu pergerakan kita menuju stabilitas baru ke arah masyarakat yang lebih berkelanjutan.
Kegagalan untuk melakukan ini dapat berarti menyerahkan nasib kita ke alam yang tidak pemaaf.
Author: Roes Ebara Gikami Lufti
Editor: Executive Council Progresa ID & Yoshua Caesar
Illustrator: Rizki Fajar