Conformity Bias in Climate Change: How human behavior disturb climate change

Progresa
5 min readFeb 21, 2021

--

Apakah kamu salah satu orang yang peduli dengan masalah lingkungan dan perubahan iklim? jika iya, apa hal-hal yang telah kamu lakukan untuk berkontribusi? Berbagai aktivitas manusia sehari-hari tanpa disadari menghasilkan gas rumah kaca dimulai dari menyalakan lampu, menonton televisi dan memasak sampai dengan, berkendara dan berlibur. Menyadari itu, sebagian kecil warga dunia mulai mengurangi aktivitas tersebut atau beralih ke alternatif mereka yang lebih ramah lingkungan. Sayangnya, jumlah mereka relatif kecil. Survey Ipsos tahun 2020 yang dilaksanakan di 14 negara menemukan sebagian orang secara sukarela akan melakukan kontribusi yang mudah dilakukan seperti menghindari konsumsi barang yang memiliki banyak kemasan (57%), membeli produk bekas (52%), dan menghemat penggunaan energi dalam rumah tangga (50%). Namun, mereka cenderung enggan untuk melakukan perubahan yang membutuhkan perubahan gaya hidup seperti menghindari terbang dengan pesawat (41%) dan mengubah diet (41%). Namun, mengapa hanya sebagian penduduk global yang melakukan hal tersebut dan mengapa mayoritas acuh dalam isu ini?

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change, pengurangan emisi karbon sebanyak 45% dari tingkat karbon dioksida tahun 2010 harus dilakukan untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata dunia di bawah 1,5 derajat Celcius dari masa pra-Revolusi Industri per tahun 2030. Walau mencapai penurunan tersebut membutuhkan perubahan sistemik, ada berbagai cara individu untuk berkontribusi seperti yang ditunjukkan grafik di bawah.

Sumber: Wynes & Nicholas, 2017, Environmental Research Letters

Mengubah kebiasaan sehari-hari seperti menghemat energi rumah tangga dan melakukan daur ulang dapat turut membantu, walau kontribusi mereka kecil (kurang dari 0,2 ton emisi karbon (tCO2e) per tahun). Untuk mencapai dampak yang lebih besar (mengurangi lebih dari 0,8 tCO2e per tahun), orang-orang diperlukan untuk keluar dari zona nyaman seperti mengubah konsumsi makanan atau beralih ke mobil listrik. Sebagai perbandingan, 1 tCO2e setara dengan mengendarai mobil sejauh 4.500 km atau menyalakan lampu rumah selama 7 bulan.

Walau tindakan-tindakan ini dapat menghasilkan manfaat lingkungan dan ekonomi bagi pelakunya, masyarakat cukup lambat untuk mengadopsi mereka. Berdasarkan survei kebijakan oleh United Nations Development Programme pada tahun 2021 dengan lebih dari 1 juta partisipan dari 50 negara, kecenderungan partisipan untuk menyetujui kebijakan yang memaksa aktor yang lebih besar seperti pemerintah dan perusahaan untuk melakukan pencegahan emisi, sedangkan kebijakan yang menuntut untuk mengubah diri seperti diet sayuran menjadi kebijakan yang paling sedikit mendapat suara. Survei kasar tersebut menunjukkan bahwa orang-orang ingin ada perubahan, walau perubahan tersebut sebaiknya tidak menganggu gaya hidup dan kenyamanan mereka. Mengapa terdapat keengganan kolektif diantara masyarakat dalam pengurangan gas emisi? Kecenderungan orang-orang untuk mengikuti status quo dalam masyarakat bisa jadi conformity bias merupakan akar dari hambatan ini.

Conformity Bias

Bias keselarasan atau conformity bias adalah kecenderungan seseorang untuk mengikuti norma-norma yang berlaku dalam suatu kelompok dibandingkan bertindak secara independen. Sejak tahun 1950-an, para psikolog sosial mengamati bahwa orang-orang dalam masyarakat secara pasif mengikuti perilaku orang lain, baik secara sadar maupun tidak. Hal ini diilustrasikan oleh percobaan Asch (1956) dengan tes penglihatan yang memaksa partisipan untuk memilih antara berdiri sendiri dengan jawaban yang benar, atau mengikuti mayoritas yang berisi para aktor dengan pilihan yang salah. Eksperimen ini menemukan bahwa mayoritas partisipan berlaku selaras dengan para aktor akibat dua faktor: keengganan untuk menjadi berbeda dan pengaruh informasional kelompok. Penelitian ini menunjukkan adanya bias keselarasan dalam masyarakat yang membuat perilaku masyarakat menjadi lebih terprediksi.

Di sisi lain, penelitian lanjutan oleh Jahoda (1959) membuktikan bahwa bias ini bergantung pada seberapa pentingnya suatu isu dilihat oleh individu. Kesadaran akan sesuatu yang dinilai berpengaruh besar terhadap kehidupan seseorang memungkinkan individu untuk bergerak secara independen maupun selaras sesuai dengan rasionalitasnya. Jahoda menunjukkan bahwa conformity bias terjadi atas kecenderungan penilaian individu yang berlaku secara sama dengan orang lain jika tidak adanya ancaman, dan berkemungkinan untuk bertindak berbeda sesuai dengan pemikirannya jika terdapat sebuah ancaman. Persepsi ini berperan dalam melihat apakah perubahan iklim global dilihat sebagai sebuah bahaya yang menunggu di masa depan oleh penduduk. Namun, menurut Daniel Gilbert (seorang profesor psikologi Harvard) otak manusia tidak dirancang untuk menanggapi ancaman yang bergerak lambat seperti pemanasan global. Akibatnya, sebagian besar dari kita tidak menangkap urgensi untuk mendobrak status quo masyarakat yang tidak ramah lingkungan.

Respon ancaman ini juga diakibatkan bentuk-bentuk pemicu seperti sesuatu yang immoral, tiba-tiba, dan berwujud seperti yang disimpulkan tabel di bawah. Namun, perubahan iklim dan aksi-aksi yang memitigasinya cenderung tidak tergolong pada mereka. Kebanyakan dari kita tidak dapat melihat tindakan imoral dalam memakan daging, terbang dengan pesawat ataupun menggunakan kendaraan berbahan bakar fosil.

Hal-hal ini yang menyulitkan identifikasi ancaman sehingga terdapat kurangnya kesadaran akan bahaya. Adanya penyangkalan akan isu iklim dan rasa pesimistis juga menjadi salah satu produk dari ancaman gerak lambat sehingga semakin menjebak penduduk dunia kedalam conformity bias. Pemikiran-pemikiran penduduk yang tidak akan melakukan perubahan jika orang lain tidak melakukannya menjadi bukti hubungan conformity bias dengan kesadaran ancaman yang sangat rendah sehingga tidak menciptakan keadaan yang memaksa untuk bergerak independen.

Bagaimana Selanjutnya?l

Perilaku individu merupakan produk dari lingkungan dalam masyarakat, sehingga terkadang mencerminkan tingkah laku kelompoknya. Menyadari bahwa conformity bias tercipta akibat sebuah pengaruh sosial yang menyebabkan individu untuk bertindak sejalan dengan mayoritas kemudian menjadi tantangan bagi penanganan isu iklim. Bias ini dapat dipatahkan atau bahkan diarahkan menjadi positif, dimulai dari penekanan persepsi ancaman iklim oleh pemerintah yang dapat mempengaruhi tindakan individu untuk memenuhi tuntutan otoritas maupun kelompok sosial. Upaya-upaya pemerintah untuk menekan pertumbuhan pelepasan gas rumah kaca juga diperlukan untuk mempermudah penduduk keluar dari conformity bias. Salah satu contoh tindakan ini dilakukan Norwegia, yang mendorong kepemilikan mobil listrik melalui regulasi, insentif pasar, dan penyediaan infrastruktur. Hasilnya, mereka berhasil menaikkan pangsa mobil elektrik hingga 54,3% dari seluruh mobil baru yang terjual pada tahun 2020.

Walau ada langkah-langkah yang dapat diambil individu dalam melawan perubahan iklim, banyak yang masih belum menjalankannya sejauh kemampuan terbaik mereka. Banyak dari kita yang masih mengikuti kebiasaan status-quo yang tidak ramah lingkungan, sebab hasrat manusia untuk selaras dengan sekitarnya dan “mati”-nya otak kita dalam menanggapi isu iklim menjadi penghambat perubahan. Namun, tekanan sosial ini dapat diberdayakan untuk memulai peralihan perilaku. Para individu akan susah untuk bertindak sendiri; diperlukan otoritas dan pemegang kekuasaan lainnya untuk sadar urgensi dari bertindak. Dengan ini kita dapat menciptakan perubahan massal yang diharapkan dapat mencegah skenario-skenario terburuk dari krisis iklim

--

--

Progresa
Progresa

Written by Progresa

A student-run think tank with the primary goal of advocating progress and promoting awareness of the issues of the future

No responses yet