Bila kita merenungkan apa yang sudah terjadi hingga saat ini, terpikir bahwa kini sudah terjadi demokrasi yang telah dicita-citakan para pendiri bangsa. Apakah demikian kasusnya? Tentu, bila dipikir sekilas. Bangun pagi, keluar dari rumah dan suatu saat melakukan demonstrasi terhadap politisi yang dianggap menyeleweng terhadap kehendak rakyatnya. Kita bayangkan di masa pra kemerdekaan, runtutan peristiwa serupa hanyalah imajinasi belaka. Sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak termasuk para feodal yang dipertahankan kolonial demi mempertahankan kekuasaannya, tak berdaya di hadapan pemisahan status; seorang pribumi dianggap sebagai makhluk yang pada dasarnya mustahil disandingkan para pria jangkung dari benua Eropa. Bila antara dua kontras ini yang disaksikan perbedaannya, tentu patut disyukuri kondisi kini. Kendatipun demikian, menurut hemat saya ini tidaklah relevan. Masa itu adalah masa Hindia Belanda, bukan Indonesia; waktu yang dialami kita semua sepatutnya dihitung mundur hingga perkataan “proklamasi” terlontar di Pegangsaan Timur. Barulah dapat dievaluasi apakah demokrasi yang dicanang sudah tercapai.
Masa ke Masa
Putar kembali waktu. Lima tahun pertama dalam kemerdekaan Indonesia adalah demokrasi darurat, dalam kenyataannya tidak sempurna. Bukan karena permasalahan dalam sistem ataupun kebusukan dari dalam, seperti yang (mungkin) kita pikirkan kini ketika mendengar akronim DPR. Semua hancur lebur karena desakan dari eksternal, bahwa Belanda enggan kehilangan negara jajahannya yang sudah dibangun sejak lama. Bangunan-bangunan indah, infrastruktur yang dapat dilihat hingga kini (Paleis Rijswijk, dan sebagainya) dengan perencanaan matang terasa sia-sia. Segalanya berjalan penuh bahaya. Perubahan kabinet terus menerus, gejolak yang tak henti terjadi bahkan hingga diadakan kabinet darurat di Bukittinggi. Untuk sementara, pemerintahan harus dilangsungkan secara gerilya dan tanpa pemilihan langsung. Triumvirat kaum intelektual sebagai kunci: Soekarno, Hatta dan Sjahrir masih setia antara satu dengan yang lain. Semua bersatu demi memperjuangkan yang dicita-citakan oleh rakyat. Semua bergerak ke arah yang satu, yakni pengakuan kedaulatan oleh Belanda, yang akhirnya terjadi tahun 1949. Teringat bahwa karena waktu yang terombang-ambing ini, konstitusi dan sistem politik belum selesai dicanangkan sepenuhnya menuju kestabilan dan ideal. Ingat tulisan pada proklamasi, “… diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja”? Hal tersebut merujuk pada konstitusi yang belum matang, oleh karena itu dalam UUD 1945 asli terdapat pasal perubahan UUD, dengan harapan ketika kondisi sudah stabil, dapat dirancang lebih seksama. Kemudian tidak terjadi hingga akhir perseteruan dan muncul UUD RIS 1949, dilanjutkan dengan UUDS 1950.
Tahap selanjutnya, Indonesia sudah berdiri sendiri. Kini gejolak berasal dari negeri sendiri dengan beragam ketidakpuasan yang berlangsung kepada pemerintah pusat. Triumvirat pun runtuh dengan diasingkannya Sjahrir sebagai petinggi partai PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang dianggap menyeleweng kepada Soekarno, sementara Hatta mundur karena dianggap sudah menyelesaikan tugasnya sebagai wakil presiden dan perannya amat terbatas, hanya menjadi simbol semata di tengah sistem parlementer yang dilaksanakan pada masa 1950–1959 dengan pimpinan seorang perdana menteri. Pemilu 1955 adalah puncak demokrasi yang terjadi di masa ini, dengan banyaknya jumlah partai serta proses kampanye mengadu ideologi dan murni berasal dari dukungan rakyat; meski terdapat kekurangan seperti posisi presiden yang terus dipegang oleh Soekarno. Demokrasi di masa ini penuh ketidakstabilan politik nasional karena kabinet pemerintahan berulang kali goyah akibat keretakan koalisi antar partai. Tidak timbul persatuan antar aktor politik yang diharapkan mampu membentuk legislasi yang utuh, dan puncaknya adalah kegagalan konstituante membentuk Undang-Undang Dasar yang baru. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan dimulailah masa Demokrasi Terpimpin yang menstabilkan politik, namun membendung demokratisasi dengan dominasi peran presiden (Hanafie, 2011). Presiden mampu mengintervensi lembaga yudikatif, bahkan menetapkan DPR-GR sebagai lembaga legislatif. Jelas bentuk demokrasi yang ditetapkan berupa negara otoriter, dengan Soekarno di puncaknya yang tetap teguh bertahan dengan dukungan publik secara massal akan karisma dan strategi populisnya. Kepemimpinan demikian tidak bertahan lama, dan setelah peristiwa kelam Gerakan 30 September — 1 Oktober (yang tentu pembahasannya membutuhkan suatu tulisan tersendiri dengan kronologis dan analisis kompleks akan apa yang sungguh terjadi), rezim Orde Lama tumbang dan melahirkan Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto.
Secercah harapan muncul akan kemajuan demokrasi, namun seiring berjalannya waktu jelas terasa bahwa tiada kehadiran akan nilai-nilai demokrasi yang diidamkan. Pada mulanya, pelurusan cita-cita demokrasi berjalan dengan baik. Kediktatoran dihapus dengan jabatan presiden yang dipilih secara berkala, lembaga legislatif ditetapkan kedudukannya sejajar dengan presiden hingga yudikatif memperoleh kembali independensi. Pemilihan umum teratur juga berhasil dilakukan. Ekonomi mulai stabil melalui dibukanya kesempatan investasi ke pihak asing. Sungguh disayangkan, pemusatan kekuasaan kembali terjadi, dengan dominasi ABRI dan kerumitan birokrasi melalui organisasi politik Golongan Karya yang menjadi alat Soeharto menjalankan kediktatoran bermotif junta militer (Budiardjo, 2008). Fusi partai dilangsungkan dengan peleburan semua partai nasionalis ke dalam Partai Demokrasi Indonesia dan golongan Islamis ke Partai Persatuan Pembangunan. Dapat dibayangkan, Golkar kedudukannya adalah organisasi politik non-partai yang memaksakan pegawai negeri memilih Golkar dalam pemilu (monoloyalitas).
Orde Baru melenyapkan politik haluan kiri dengan pembantaian terhadap Partai Komunis Indonesia beserta segalanya yang terkait. Hubungan ekonomi dan politik berubah haluan, mendekat kepada negara Barat serta pemerintahan dan institusi global. Oligarki kapitalis berkembang, dengan kekuasaan korporat yang mayoritas dipegang keluarga terafiliasi politik dengan Soeharto, serta konglomerasi beretnis Tionghoa mendominasi perekonomian. Disinyalir hal ini terjadi untuk memastikan kontrol politik Soeharto tetap ada tanpa perlawanan. Hubungan patronase dan korupsi, kolusi serta nepotisme merebak sebagai akibat. Pembangunan ekonomi yang disebut-sebut demi rakyat, dengan pengambilan keputusan oleh para teknokrat, gagal mengentaskan kemiskinan dan justru memperlebar kesenjangan. Segala keburukan tersingkap ketika perekonomian Indonesia menghadapi krisis ekonomi Asia 1997–1998. Nilai tukar terjun bebas, sektor perbankan tak mampu mempertahankan usahanya dengan lilitan utang korporasi di segala penjuru. Kelompok anti Soeharto pun mulai mengungkapkan ketidakpuasannya akan penguasa yang tak kunjung turun, terutama mahasiswa dan pemuda. Demonstrasi dilakukan terus-menerus hingga muncul kerusuhan di mana-mana; 21 Mei 1998, Soeharto mundur dan era Orde Baru atau “Demokrasi Pancasila” usai sudah.
“Reformasi”
Keberadaan oligarki serta penyelewengan kekuasaan sekilas terlihat terancam lenyap setelah orde baru berakhir, dan masa reformasi dimulai. Pergantian rezim memunculkan reformasi konstitusi seperti desentralisasi politik, bagaimana institusi negara berjalan seperti MPR yang tidak lagi berada di atas segalanya melainkan sejajar dengan eksekutif dan yudikatif, semua bertanggung jawab terhadap rakyat, dan bantuan IMF serta negara lainnya terhadap krisis perekonomian yang dihadapi mewajibkan Indonesia melaksanakan reformasi bersifat neoliberal; melepaskan kontrol negara dari kegiatan perekonomian (biasa disebut Washington consensus). Pasar telah bertransformasi dan nilai-nilai demokrasi ditegakkan, tentu diharapkan partai politik reformis kembali bermunculan serta keadilan sosial dan kesetaraan ekonomi hadir di tengah-tengah masyarakat.
Reformasi, ujar banyak orang, namun kekuatan politik dan bisnis yang menguasai tatanan masyarakat di masa Orde Baru tetap bertahan dan secepat kilat mengambil alih demokrasi baru Indonesia. Fakta kelamnya? Bertahan hingga kini. Sebelum membahas lebih lanjut, sejumlah pertanyaan mungkin terngiang dalam hati. Apakah demokrasi sehingga demikian penting? Bukankah pembangunan dapat dicapai tanpa demokrasi, seperti yang dilangsungkan Orde Baru dengan konsep repelita yang sangat sentralistik? Tidak sesederhana itu.
Esensi Demokrasi, Kondisi Kini
Demokrasi mengandung berbagai interpretasi; secara menyeluruh, demokrasi dapat diartikan sebagai seperangkat implementasi dan prinsip yang menegakkan dan melindungi kebebasan. Setidaknya sebuah negara demokrasi memenuhi ciri-ciri dasar seperti penetapan pemerintahan berdasarkan mayoritas dan persetujuan rakyat, pemilu yang bebas dan adil, perlindungan hak minoritas dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Di depan hukum dan prosesnya, semua orang dianggap setara; pluralisme politik juga terjadi. Untuk membandingkan demokrasi antar negara, dilangsungkan penghitungan kuantitatif atas beberapa aspek esensial. Salah satu publikasi perbandingan yang digunakan secara luas adalah indeks Economist Intelligence Unit, yang berpandangan bahwa komponen atas demokrasi tidak cukup hanya memperhatikan kebebasan. Disadur dalam laporan EIU, aturan oleh mayoritas belum tentu demokratis; harus dipadukan dengan jaminan HAM dan hak minoritas. Budaya politik juga penting untuk legitimasi, kelancaran dan keberlanjutan demokrasi. Kultur pasif dan apatis tidaklah demokratis, dan budaya politik demokratis yang diharapkan adalah penerimaan hasil penilaian para pemilih oleh pihak yang kalah dan peralihan kekuasaan terjadi secara damai. Meski masyarakat berhak tidak memilih sebagai bentuk ungkapan ketidakpuasan, namun demokrasi membutuhkan partisipasi aktif (seperti dalam debat publik, partisipasi partai politik) dan kebebasan memilih (EIU, 2021).
Ada lima kategori yang diperhatikan, yakni proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, fungsi pemerintah, partisipasi politik dan budaya politik; semuanya saling berkaitan dan membentuk koherensi konseptual. Setiap kategori diberikan skala peringkat 1–10 dan hasil keseluruhan membagi setiap ke negara ke dalam satu dari empat kategori:
- Full democracies (Skor lebih besar dari 8)
- Flawed democracies (Skor lebih besar dari 6, dan kurang dari atau sama dengan 8)
- Hybrid regimes (Skor lebih besar dari 4, dan kurang dari atau sama dengan 6)
- Authoritarian regimes (Skor kurang dari atau sama dengan 4)
Di manakah Indonesia berada? Dengan peringkat global ke-64, Indonesia memperoleh skor 6.3 berdasarkan EIU 2020, yang menempatkannya di kategori Flawed Democracy. Kategori budaya politik hanya memperoleh nilai 4.3 dan kebebasan sipil bernilai 5.6. Telisik kembali dalam retrospektif, Indonesia semakin demokratis dari tahun 2006 hingga tahun 2015, dengan peningkatan indeks dari 6.41 menuju 7.03 (2015). Berita baik pada periode tersebut. Hal yang mengecewakan adalah perkembangan setelahnya, pasca pemilihan Joko Widodo sebagai seorang presiden. Indeks demokrasi terus memburuk hingga pada tahun 2020, angka menyentuh 6.3. Berada di bawah skor pada tahun 2006.
Ada apa gerangan? Democratic backsliding. Kemunduran secara bertahap akibat melemahnya institusi politik yang mempertahankan sistem demokrasi (Waldner, 2018). Kala komponen esensial demokrasi semakin terancam keberadaannya, dapatlah dikatakan terjadi konsep tersebut; di antaranya pemilihan yang bebas dan adil, kebebasan berbicara bagi semua pihak termasuk oposisi politik, penegakan aturan hukum serta apabila pemerintah menciptakan rasa krisis untuk memfitnah golongan yang dianggap menjadi distraksi.
Kekuasaan Oligarki
Oligarki berpusat pada usaha mempertahankan kekayaan yang terkonsentrasi pada sejumlah individu, melalui politik. Setelah kejatuhan Soeharto, kaum oligarki memiliki sumber daya yang memungkinkan mereka mendominasi sistem politik dan mengejar strategi pertahanan kekayaan di luar politik. Tiada lagi lembaga penegakan hukum yang kuat, independen, atau impersonal yang mampu membatasi golongan paling berpengaruh di Indonesia. Permasalahan harta, korupsi, kriminalitas memihak oligarki dengan pembelian dan penyelewengan sistem hukum. Reformasi yang terjadi tidak maksimal dan berpotensi mengurangi daya tarik demokrasi itu sendiri.
Jeffrey Winters dalam tulisannya memaparkan data tentang situasi yang terjadi tahun 2011, relevan hingga kini dengan ketimpangan yang semakin buruk: rata-rata kekayaan 40 teratas di Indonesia adalah US$ 2.13 Miliar, 50% lebih besar dibandingkan Singapura, memiliki kekayaan dua kali lipat kategori serupa di Thailand. Orang terkaya Indonesia, keluarga Hartono pemilik Djarum adalah pemilik harta terbesar di Asia Tenggara. Pengukuran lain melalui Material Power Index, yakni rata-rata kekayaan 40 terkaya dibagi dengan PDB/kapita, menunjukkan indeks 630000 terhadap 1. Dua puluh kali lipat besarnya dibanding kesenjangan yang terjadi di Singapura. Oligarki hadir dan menguasai.
Sumber: Winters, J. (2013).
Terpilihnya Gubernur Jakarta Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2012 menunjukkan bahwa besar peranan tindakan dan dukungan oligarki terhadap pilihan demokrasi rakyat. Kekayaan bersih Jokowi yang berkisar US$ 3 ke 5 Juta tentu tidak cukup melawan petahana ibukota. Februari 2012, Prabowo merespon komentar Ahok yang menegaskan ketiadaan sumber finansial dengan konfirmasi menanggung segala biaya yang akan datang. Prabowo, Hashim, dan Gerindra ingin memperkuat posisi strategis mereka di ibu kota sembari mendekatkan diri dengan Megawati dan PDIP — mitra penting dalam upaya Prabowo menjadi presiden di saat itu dan upaya mempertahankan kekayaan Hashim. Kekayaan oligarki menempatkan Jokowi di depan para pemilih (Winters, 2013).
Sarana yang digunakan oleh oligarki untuk mempertahankan posisinya hadir dalam bermacam bentuk. Media massa di Indonesia salah satunya, dengan tujuan bisnis dan turut mempengaruhi perspektif masyarakat. Mayoritas surat kabar dengan sirkulasi tinggi, media online dengan akses tertinggi hingga jaringan radio utama baik di kota-kota besar maupun skala lokal dikuasai oleh kelompok media besar. Stasiun televisi juga serupa dengan konsentrasi kepemilikan di perusahaan besar milik oligarki. Spektrum ideologis untuk media berkisar dari konservatif hingga sayap kanan yang ekstrim, dan sebagian besar konflik dan perdebatan di kalangan media muncul karena bentrokan antara tokoh oligarki atau kelompok politik pemiliknya.
Oligarki juga berperan besar dalam partai politik dengan ‘membelinya’ ataupun meningkatkan kualitas partai. Politik uang yang umum terjadi dalam sistem pemilihan menjadi kendala bagi para kandidat. Mereka harus membayar uang dalam jumlah besar kepada pimpinan partai untuk dukungan dari pengurus nasional. Untuk menjadi pemimpin partai, jalan yang harus ditempuh lebih curam dengan pembayaran kepada delegasi kongres nasional demi kepastian kemenangan. Oligarki adalah yang memberikan sumber daya, tentu dengan harapan akan timbal balik yang menguntungkan pihaknya. Bahkan dalam sejumlah kasus, oligarki menggunakan kekuatan uang mereka untuk menciptakan partai baru, seperti yang dilakukan Hasyim dan Prabowo dengan Gerindra, dan Surya Paloh dengan NasDem.
Kehidupan politik negara ditentukan oleh dinamika oligarki. Partai politik menetapkan struktur dan strategi operasi juga atas kontrol oligarki: siapa yang dapat bersaing dalam penentuan kepemimpinan partai, siapa yang dapat mencalonkan diri untuk jabatan besar, dan bagaimana aparat politik digunakan untuk tujuan pertahanan kekayaan. Sejauh media didominasi oleh aktor dan kekuatan politik yang sama, kecil kemungkinan pers atau partai demokratis yang kritis akan menyediakan sarana menentang dominasi oligarki. Potensi hukum untuk membatasi oligarki dalam jangka pendek atau menengah, prospeknya sama-sama suram.
Polarisasi Politik dan Populisme
Masyarakat Jakarta dikejutkan atas turunnya ratusan ribu Muslim konservatif yang memprotes komentar yang disinyalir menghina Islam oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), gubernur petahana beretnis Tionghoa Kristen menggantikan Jokowi setelah memenangkan pemilihan Presiden. Peristiwa ini terjadi menjelang pemilihan gubernur Jakarta tahun 2017, dan tuduhan penistaan agama ini didukung oleh Majelis Ulama Indonesia; MUI dipimpin oleh Ma’ruf Amin yang juga menjabat sebagai saksi ahli untuk penuntutan selama persidangan Ahok. Demonstrasi massa terus berlangsung, diorganisir oleh Gerakan Nasional Pengamanan Fatwa MUI (GNPF MUI) dan menuntut Ahok didiskualifikasi, ditangkap dan dipenjara. Reformasi kuat birokrasi Ahok dikesampingkan dan identitas agamalah yang menjadi sorotan. Hasilnya, putaran kedua pemilu dimenangkan pasangan Anies Baswedan — Sandiaga Uno yang menyelaraskan kampanye dengan gerakan Islam beserta organisasinya. Sekutu Anies-Sandi berhasil melaksanakan kampanye akar rumput (grassroots) secara efektif melalui masjid, kelompok studi dan media sosial, menyebarluaskan karakter Ahok yang digambarkan sebagai musuh Islam dan menekankan dosa memilih pemimpin non-Muslim. Ahok dikalahkan, meski memperoleh 74% approval rate sebagai gubernur dan membuktikan bahwa petahana yang populer dan berkinerja baik tetap rentan terhadap kampanye sektarian yang sangat terpolarisasi, terorganisir secara efektif dan banyak sumber daya (Mietzner dan Muhtadi, 2018).
Pasca peristiwa Jakarta, Jokowi dan mitra koalisinya berusaha keras meningkatkan kredibilitas Islami pemerintah. Ahok didakwa dan diadili atas tuduhan penistaan, yang mengakibatkan dia dijatuhi hukuman penjara dua tahun. Pendekatan yang lebih proaktif juga dilaksanakan untuk konsolidasi dukungan dari berbagai kelompok Islam, melalui perhatian yang lebih dekat pada tuntutan material masyarakat sipil Islam di tingkat organisasi dan penguatan ikatan pribadi antara presiden dan ulama terkemuka. Setelah kekalahan dan persidangan Ahok, Ma’ruf berubah menjadi salah satu sekutu terdekat presiden. Ma’ruf dilimpahkan dengan pujian dan patronase — mengatur pertemuan antara presiden dan investor asing dan menjadi tuan rumah peluncuran bank kredit mikro berbasis syariah Jokowi di pesantrennya di Banten — dan dia membalas Jokowi dengan pembelaan vokal atas kredensial agama, kepemimpinan, dan kebijakan presiden. Meskipun Ma’ruf bersekutu dengan sayap NU yang paling puritan dan konservatif secara ideologis, Jokowi mengenalinya sebagai seseorang yang dapat berbisnis dengannya; seorang aktor politik cerdik yang karirnya lebih dicirikan oleh pragmatisme daripada dogmatisme (Power, 2018).
Salah satu tanggapan represif pemerintah adalah pada Juli 2017, dalam bentuk keputusan tentang organisasi massa (Perppu 2/2017). Keputusan tersebut dimaksudkan sebagai alat untuk melarang jaringan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang berperan penting dalam protes anti-Ahok, tetapi dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemerintah secara sepihak membubarkan organisasi apapun yang dianggap bertentangan terhadap Pancasila. Perubahan ini membatalkan hak organisasi sebelumnya untuk menggugat larangan yang diusulkan melalui proses peninjauan kembali di pengadilan, dan memperkuat kewenangan untuk memberlakukan larangan di bawah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia. Keputusan tersebut berpotensi digunakan sebagai instrumen untuk perluasan represi terhadap kelompok-kelompok yang dianggap memusuhi pemerintah (Hamid dan Gammon, 2017).
Kehadiran yang Semu
Politik kini menghadirkan unsur Islam konservatif, dengan kandidat yang ragu akan prospek tanpa pasangan calon ‘Islam’ untuk menghadapi gempuran di lapangan. Dipilihnya Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden bersama Joko Widodo menjadi indikator kuat terjadi demikian. Namun ancaman yang lebih membahayakan demokrasi adalah pemanfaatan institusi negara, secara sistematis, untuk pemenuhan agenda politik. Oposisi juga terancam mengungkapkan pendapat dan melaksanakan proses demokrasi yang diidamkan dengan penindasan hak oleh pemerintah.
Posisi pelik yang ditanggung kini bukan tanpa asal-usul. Demokrasi yang hendak dibangun pasca 1998 adalah oleh para aktor yang terkait dengan otoritarianisme rezim sebelumnya. Beberapa tokoh bahkan masih menduduki tampuk kekuasaan pemerintahan, sehingga reformasi secara utuh dapat dikatakan mustahil. Semangat menggebu-gebu mungkin muncul pada mulanya, dengan amandemen UUD oleh MPR, serta banyak aksi strategis lainnya, namun kobaran api tersebut cepat mereda dan semua kembali pada kepentingan masing-masing. Era Presiden Yudhoyono berjalan penuh kehati-hatian dengan reformasi yang cenderung stagnan. Setelahnya, harapan kebangkitan muncul dengan sosok Joko Widodo sebagai tokoh merakyat (atau Populis); akan tetapi seiring berjalannya waktu, sifat kompromistis yang muncul dengan arah menuju otoriter. Liberalisme perlahan bergeser ke arah yang berlawanan dengan upaya menyudutkan oposisi (Warburton, 2019).
Telah kita saksikan, bahwa Prabowo Subianto serta Sandiaga Uno yang menjadi oposisi dalam pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2019 silam, bergabung menjadi bagian dari kabinet. Kondisi ini membuahkan keraguan akan arti dari oposisi dan menguatkan dugaan bahwa politik yang terjadi dalam negara adalah politik kompromistis. Ideologi antar partai seakan hanya mitos belaka, semua kontestasi adalah untuk mempertahankan kekuasaan. Apabila demikian yang terjadi, tentu bukan demokrasi yang hadir; harapan palsu bagi masyarakat. Tanpa demokrasi secara utuh, cita-cita yang didamba para pendiri bangsa hanyalah menjadi impian yang selalu luput dari realita. Tujuan akhir adalah kesejahteraan bersama yang dialami setiap diri, dan kebijakan yang dilakukan adalah untuk mencapai hal tersebut. Termasuk dalamnya, aspek kebebasan dan pemenuhan hak. Mungkin tanpa demokrasi, dalam jangka pendek negara tetap akan tumbuh dan berkembang; namun siapakah yang menikmati hasilnya? Saya meragukan semua terlibat, bahkan ada yang semakin tertinggal sebagai konsekuensi.
Bagaimana demokrasi dapat diselamatkan? Apakah memungkinkan berharap pada reformasi? Memandang kembali gejolak yang terjadi selama beberapa tahun belakangan, inikah pengejawantahan ketidakpuasan rakyat secara luas terhadap status quo? Tantangan yang diajukan bagi semua.
Written by: Mervin Manurung
Edited by: Miftah Rasheed
Illustrated by: Rizki Fajar
Referensi:
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Economist Intelligence Unit. (2021). Democracy Index 2020. In sickness and in health? London: EIU.
Hamid, U., & Gammon, L. (2017). Jokowi forges a tool of repression. New Mandala, 13.
Hanafie, H., & Suryani. (2011). Politik Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mietzner, M., & Muhtadi, B. (2018). Explaining the 2016 Islamist mobilisation in Indonesia: Religious intolerance, militant groups and the politics of accommodation. Asian Studies Review, 42(3), 479–497
Power, T. P. (2018). Jokowi’s authoritarian turn and Indonesia’s democratic decline. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(3), 307–338.
Waldner, D., & Lust, E. (2018). Unwelcome change: Coming to terms with democratic backsliding. Annual Review of Political Science, 21, 93–113.
Warburton, E., & Aspinall, E. (2019). Explaining Indonesia’s Democratic Regression. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 255–285.
Winters, J. A. (2013). Oligarchy and democracy in Indonesia. Indonesia, (96), 11–33.