Dua Dekade Menuju 100 Tahun Indonesia: Akselerasi Reformasi Ekonomi dalam Sistem Demokrasi

Progresa
10 min readApr 12, 2021

--

Aspirasi Indonesia menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi telah menjadi amanat para pendiri bangsa serta salah satu tujuan luhur yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dituangkan dalam Visi Indonesia 2045, dimana Bappenas (2019), skenario terkini pemerintah memperkirakan Indonesia dapat keluar dari middle-income trap pada tahun 2036–2038 dengan pendapatan perkapita $19.794 — $23.199 di tahun 2045. Hal ini dilandasi dengan potensi demografi mencapai 318,9 juta (BPS, 2018) di tahun 2045, peningkatan kelas pendapatan menengah, namun dengan potensi peningkatan rasio ketergantungan penduduk Indonesia yang mengindikasikan urgensi Indonesia untuk mengakselerasi proses transformasi struktural agar tidak kehilangan momentum emasnya.

Setelah lebih dari ¾ abad sejak kemerdekaannya, Indonesia telah melalui sejumlah kemajuan dan perkembangan dalam perekonomian, hingga menjadi salah satu emerging economies yang tergabung dalam G20, serta merepresentasikan 1,27% dari ekonomi dunia (World Bank, 2021). World Bank (2020) pun menetapkan status Indonesia yang masuk dalam upper-middle-income country (meskipun berpotensi kembali ke lower-middle-income country akibat COVID-19), dengan proporsi kelas pendapatan menengah mencapai hampir 1/5 penduduk Indonesia dan aspiring middle-class yang mencapai lebih dari 40% populasi Indonesia.

Kemajuan perekonomian tentunya tak lepas dari sistem dan institusi politik serta rezim yang berperan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Orde Lama dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno telah meletakkan pondasi awal kemerdekaan dengan melakukan dekolonisasi ekonomi, nasionalisasi aset dan perusahaan, serta konsolidasi dan integrasi kebangsaan (Wie, 2012). Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menginisiasi sejumlah pembangunan ekonomi yang disusun dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang terarah pada peningkatan sektor pertanian dan industri. Dengan sistem pemerintahan sentralistik dan sistem patron-client, terdapat modal politik yang kuat yang memunculkan berbagai dinamika kebijakan ekonomi yang dimulai dengan kebijakan stabilisasi ekonomi akibat hiperinflasi, liberalisasi perdagangan dan investasi, serta kebijakan mikroekonomi: swasembada beras, pendidikan, dan perencanaan keluarga (Rock, 2003; Resosudarmo dan Kuncoro, 2007). Era Reformasi dari Presiden Habibie hingga Presiden Joko Widodo saat ini, dimana setelah terjadi twin crises, yaitu krisis ekonomi yang diikuti dengan kejatuhan rezim mencatatkan reformasi institusional, reformasi sistem pemerintahan dan politik, serta kelanjutan pembangunan dalam berbagai aspek (Hill dan Shiraishi, 2007).

Namun demikian, sebagai negara berpendapatan menengah, masih terdapat sejumlah tantangan besar yang harus diselesaikan oleh kepemimpinan dalam 2 dekade ini untuk mencapai Visi Indonesia 2045. Transformasi struktural Indonesia masih belum mencapai perubahan yang signifikan, dimana terjadi fenomena deindustrialisasi prematur yang ditandai dengan penurunan nilai tambah manufaktur (grafik 1). Konsentrasi pada produk sektor primer yang berbasis sumber daya alam seperti batu bara, CPO, dan juga minyak bumi juga menjadi tantangan tersendiri dimana banyak literatur membuktikan dengan kuat terkait natural-resources curse dan dutch disease. Proses transformasi struktural kemudian menjadi perlu untuk dikebut sebelum tahun 2040 (sebelum bonus demografi menurun), dan dengan waktu yang terbatas diperlukan industri manufaktur padat karya serta memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi pasca Covid-19 untuk mengakselerasi transformasi struktural (Verico, 2021).

Grafik 1 Struktur Perekonomian Indonesia

Sumber: World Bank (2021). Ilustrasi oleh Penulis

Kebijakan yang baik tentunya perlu didukung dengan institusi serta sistem politik serta pemerintahan yang kuat untuk mendukung kebijakan atau reformasi ekonomi sehingga dapat diimplementasikan secara efektif. Dalam 2 dekade menuju 100 tahun Indonesia, tantangan yang besar dihadapi oleh kepemimpinan rezim saat ini dan selanjutnya (dimana praktisnya hanya akan diisi oleh 2–4 rezim) untuk memastikan terwujudnya visi tersebut. Kepemimpinan dan modal politik yang kuat tentu menjadi esensial, dimana Mahmoud (1990) menyebutkan pentingnya peran pemerintah dalam mendorong industrialisasi terutama pada negara berkembang. Setiap negara tentunya memiliki karakteristik serta sistem pemerintahan dan politik yang berbeda yang membuat perlunya strategi yang berbeda pula dalam melancarkan reformasi ekonomi. Sebagai negara demokrasi, dengan populasi ke-4 terbesar di dunia, multikultur, dan memiliki sistem desentralistik, diperlukan strategi yang efektif untuk mengimplementasikan kebijakan dan juga reformasi ekonomi secara cepat untuk mencapai Visi Indonesia 2045.

Kebijakan Industri di Indonesia

Tijaja dan Faisal (2014) mencatatkan beberapa kebijakan industri yang pernah dilakukan dalam berbagai era di Indonesia. Periode 1966–1973 mencatatkan agenda stabilisasi dan penyesuaian akibat penurunan pertumbuhan ekonomi dan hiperinflasi pada periode sebelumnya, kemudian disusul pada periode 1970–1980 dimana terjadi fenomena oil boom, kebijakan industri dilakukan secara restriktif dan diskresi investasi diberikan pada sektor yang menjadi prioritas. Lebih lanjut, pengembangan industri dilakukan oleh BUMN dengan menggunakan pendapatan dari ekspor minyak bumi dan komoditas untuk pembentukan BUMN pada sektor — sektor strategis untuk tujuan pemenuhan produksi, pembangunan ekonomi, serta stabilisasi harga. Lebih lanjut pada periode 1980–1996, diisi oleh rasionalisasi investasi publik akibat penurunan pendapatan dari komoditas, kemudian beberapa paket reformasi dilakukan, seperti reforma perpajakan, reforma kepabeanan dan cukai, paket deregulasi, serta kebijakan outward-looking yang terlihat dengan peningkatan labor-intensive exports yang mulai terdiversifikasi menuju manufaktur dengan peningkatan basis teknologi.

Tijaja dan Faisal (2014) juga mencatatkan beberapa kebijakan industri pasca reformasi 1998, dimana sistem pemerintahan dan politik yang tersentralisasi dan cenderung patrimonial bertransisi menjadi desentralisasi dalam berbagai aspek. Pengelolaan perekonomian pasca krisis membuat kebijakan industri secara proaktif baru mulai digulirkan mulai tahun 2003, dan di tahun 2007 diluncurkan RPJPN 2007–2025 yang salah satu poin penting yaitu kebijakan industri yang fokus pada peningkatan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan domestik, serta melibatkan pemanfaatan sumber daya alam domestik. Kemudian, sebagai kebijakan turunan, diluncurkan kebijakan industri nasional (Perpres 28/2008) serta Master Plan for Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development (MP3EI) yang fokus pada pembangunan infrastruktur baik hard infrastructure dan juga soft infrastructure. Kuncoro (2018) juga menambahkan terkait tren manufaktur, dimana ekspor manufaktur berbasis pada beberapa produk saja dan terlihat tren penurunan meskipun efek dutch disease dari commodity boom tahun 2005–2012 mulai menurun.

Kebijakan industri sejatinya merupakan kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan daya saing manufaktur yang melibatkan banyak unsur dan memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi, mulai dari kebijakan tarif dan perdagangan, peningkatan infrastruktur fisik dan non-fisik, serta kooperasi antara sektor privat dan publik untuk meningkatkan daya saing industri. Salah satu permasalahan yang muncul adalah keberlanjutan dari kebijakan industri, dimana keberlanjutan program kebijakan industri antar rezim penting untuk memastikan pembangunan berjalan on the track dan tidak tumpang tindih. Keberlanjutan juga penting untuk memastikan konsistensi dari pengembangan sektor manufaktur yang dilakukan.

Tabel 1 Dinamika Sektor Manufaktur Indonesia 1975–2013

Sumber: Aswichayono dan Hill (2018)

Selain itu, menyeimbangkan kebijakan stabilisasi dan pertumbuhan juga menjadi suatu tantangan tersendiri, terutama bagi Indonesia sebagai salah satu emerging economies yang rawan terdampak apabila terjadi external shock. Kemudian, tantangan yang muncul adalah terkait implementasi, bagaimana menerjemahkan perencanaan dalam implementasi kebijakan, baik di level pusat maupun daerah. Tantangan — tantangan tersebut tentunya memerlukan kepemimpinan serta modal politik yang kuat, dimana kebijakan ekonomi tidak dapat ditempuh secara efektif tanpa dukungan politik serta institusi yang kuat.

Reformasi Ekonomi dan Demokrasi di Indonesia

Setelah masa reformasi, Indonesia mulai melakukan transformasi dalam sistem politik dan pemerintahannya. Setelah sebelumnya menganut sistem tri-partai, kini Indonesia memberlakukan sistem multi-partai dengan sejumlah dinamika parliamentary threshold untuk masuk dalam ranah legislatif. Perubahan dalam sistem eksekutif juga terjadi dengan ditempuhnya amandemen UUD 1945 yang memberlakukan pemilihan Presiden secara langsung dengan keterlibatan partai politik dalam kandidasi melalui presidential threshold. Salah satu perubahan yang juga terjadi adalah dari sistem sentralisasi ke desentralisasi dengan pemberian otonomi daerah dalam ranah yang ditentukan. Salah satu aspek penting dalam demokrasi, yaitu kebebasan berpendapat juga semakin diperluas, sehingga menguatnya peran pers dan partisipasi masyarakat sebagai institusi kebangsaan. Hal ini tentunya memerlukan sejumlah penyesuaian dalam tataran pelaksanaan kebijakan ekonomi, terutama agenda reformasi ekonomi dalam skala yang masif.

Salah satu kendala yang muncul adalah reformasi ekonomi (termasuk kebijakan industri) bersifat jangka panjang, sedangkan siklus politik berlangsung 5 tahunan, sehingga ruang untuk melakukan kebijakan jangka panjang menjadi tidak besar (Basri, 2017). Hal ini secara praktis menimbulkan tendensi kebijakan yang cenderung bersifat populis dan return yang dihasilkan bersifat jangka pendek. Basri (2017) menambahkan perlunya endogenous reform dengan membuat success stories (gambar 1) dari agenda reformasi skala kecil sebagai modal politik untuk agenda reformasi yang lebih besar lagi. Sinkronisasi kepentingan institusi secara holistik, baik teknokrat, birokrat, politisi, media, maupun masyarakat menjadi penting dikarenakan masing-masing institusi memiliki posisi yang belum tentu sama dalam reformasi ekonomi.

Gambar 1 Strategi Reformasi Ekonomi

Sumber: Basri (2017)

Agenda reformasi juga mencakup desentralisasi dalam multi aspek, yaitu desentralisasi fiskal, politik, pemerintahan, sosial, serta ekonomi. Hal ini dinilai untuk melibatkan pemerintah serta institusi lokal dalam pembangunan dan percepatan pemerataan antar wilayah. Namun, dalam tataran perencanaan dan pelaksanaan kebijakan publik, hal ini dapat menimbulkan principal-agent problem. Secara politik, kepala daerah (walikota, bupati, dan gubernur) serta presiden dipilih langsung oleh rakyat, bukan melalui penunjukkan. Hal ini membuat ruang untuk melakukan instruksi secara vertikal dan juga evaluasi menjadi kurang, karena Gubernur misalnya tidak bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Kurangnya koordinasi dan sinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, baik dari sisi perencanaan maupun pelaksanaan kebijakan, dapat berpotensi membuat kebijakan yang tumpang tindih ataupun berlawanan.

Reformasi ekonomi (khususnya kebijakan industri) merupakan kebijakan yang bersifat jangka panjang serta memerlukan koordinasi yang kuat antar pemerintah, terutama untuk mengakselerasi industrialisasi di Indonesia. Melihat kebijakan industri yang telah dilakukan selama ini, penting untuk memastikan keberlanjutan kebijakan untuk dilakukan. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan institusionalisasi reformasi ekonomi. Visi Indonesia 2045 sebagai rencana jangka panjang, maupun kebijakan turunan baik dari supply-side maupun demand-side perlu untuk diberikan payung hukum yang kuat, sehingga dapat dipastikan keberlanjutan dan implementasinya. Sebagai contoh, Basri (2017) menyebutkan bahwa reformasi fiskal dilakukan dengan salah satunya membuat Undang-Undang yang membatasi defisit fiskal hanya sampai 3%, yang berdampak positif pada keberlanjutan fiskal. Hal ini tentunya dapat juga dikaji dalam pemberlakuannya pada perencanaan dan implementasi kebijakan industri sebagai strategi jangka panjang dalam akselerasi transformasi struktural di Indonesia.

Sebagai negara demokrasi, transparansi dan keterbukaan menjadi pilar yang penting, dimana partisipasi dan peran masyarakat menjadi sangat penting. Transparansi dan keterbukaan dalam pelaksanaan kebijakan dapat mengurangi asymmetric information pada seluruh stakeholders. Selain itu, transparansi dan keterbukaan juga dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan institusi demokrasi, hingga pada akhirnya proses politik yang berkualitas juga dapat terlaksana dengan baik. Terkait hal tersebut, agenda reformasi ekonomi dan juga kebijakan industri jangka panjang juga tentunya perlu untuk dikomunikasikan secara intensif agar bisa menjadi komitmen politik maupun komitmen kebangsaan untuk melangkah menuju Indonesia Emas 2045.

Perspektif Alternatif dalam Reformasi Ekonomi

Duncan (2010) dalam studi terkait reformasi ekonomi mencatatkan beberapa hal yang penting dalam melakukan reformasi ekonomi, yang mencakup kepemimpinan yang kuat, kapabilitas dalam pengelolaan kelembagaan dalam sektor publik, strategi komunikasi publik yang baik, dan perlunya pemikiran teknis yang bersifat koheren dari pihak eksternal. Secara spesifik melalui studi yang dilakukan di negara — negara Pasifik, Duncan (2010) lebih lanjut mencatatkan suksesnya reformasi ekonomi di negara tersebut tidak terlepas pada adanya reform champion pada ranah politik dan birokrasi secara kelembagaan, keterlibatan aktor lokal, serta memastikan reformasi ekonomi sejalan dengan praktik budaya. Memunculkan reform champion dapat menjadi relevan untuk diterapkan sebagai upaya dalam peningkatan institusi yang juga berdampak pada transformasi struktural di Indonesia. Hal ini juga sudah dimulai dengan adanya kemunculan sejumlah kepala daerah ataupun institusi yang berprestasi. Peran media dan komunikasi publik tak dapat dipungkiri menjadi hal yang sangat esensial.

Perspektif lain juga muncul dari studi empiris yang dilakukan oleh Kim dan Pirttilä (2006) yang menguji dampak dari hambatan politik pada reformasi ekonomi pada 14 negara di Eropa Tengah dan Timur yang berada pada masa transisi. Studi ini menunjukkan bahwa dukungan publik secara empiris terbukti berhubungan positif dengan stabilitas perekonomian dan berhubungan negatif dengan ketimpangan pendapatan. Grafik 2 menunjukkan bahwa negara dengan pertumbuhan yang positif lebih memiliki ruang untuk melakukan reformasi ekonomi. Studi ini juga menyarankan policy design juga perlu mengarah pada minimalisasi dampak risiko pada masyarakat, seperti peningkatan inflasi, pengangguran, dan ketimpangan untuk mensukseskan paket kebijakan reformasi ekonomi. Dukungan publik menjadi kunci penting untuk melakukan reformasi ekonomi.

Grafik 2 Hubungan antar Variabel Ex Ante dan Ex Post

Sumber: Kim dan Pirttilä (2006)

Menuju Indonesia Emas 2045

Waktu Indonesia menuju 100 tahun kemerdekaan menyisakan dua dekade lagi, yang mengindikasikan perlunya akselerasi reformasi ekonomi terutama dalam kebijakan industri untuk menjadi negara berpendapatan tinggi. Akselerasi menjadi perlu dikarenakan momentum bonus demografi yang juga akan berakhir. Sebagai negara demokrasi, strategi dalam implementasi reformasi ekonomi, seperti institusionalisasi kebijakan, transparansi dan keterbukaan, memunculkan reform champion, serta meningkatkan dukungan publik menjadi penting untuk mengatasi permasalahan dalam perencanaan maupun implementasi kebijakan industri serta kebijakan turunan lainnya. Waktu terus berputar, inilah saatnya Indonesia berlari menuju Indonesia Emas 2045.

Ditulis oleh Andreas Alfonsus Sahat Angelo Saragih

Disunting oleh Miftah Rasheed Amir

Referensi:

Akhlas, A. (2020). Indonesia now upper middle-income country, World bank says. Retrieved from https://www.thejakartapost.com/news/2020/07/02/indonesia-now-upper-middle-income-country-world-bank-says.html

Bappenas. (2019). Ringkasan Eksekutif Visi Indonesia 2045. Retrieved from https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/visi-indonesia-2045/

Basri, M. C. (2017). Reform in an imperfect world: The case of Indonesia. Asian-Pacific Economic Literature, 31(2), 3–18. doi:10.1111/apel.12195

BPS. (2018). Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045 Hasil SUPAS 2015. Retrieved from https://www.bps.go.id/publication/2018/10/19/78d24d9020026ad95c6b5965/proyeksi-penduduk-indonesia-2015-2045-hasil-supas-2015.html

Duncan, R. (2010). The Political Economy of Economic Reform in the Pacific. Retrieved from https://www.adb.org/sites/default/files/related/18687/political-economy-economic-reform-pac-execsumm.pdf

Hill, H., & Shiraishi, T. (2007). Indonesia after the Asian crisis. Asian Economic Policy Review, 2(1), 123–141. doi:10.1111/j.1748–3131.2007.00058.x

Kim, B., & Pirttilä, J. (2006). Political constraints and economic reform: Empirical evidence from the post-communist transition in the 1990s. Journal of Comparative Economics, 34(3), 446–466. doi:10.1016/j.jce.2006.05.001

Kuncoro, A. (2018). Trends in the manufacturing sector under The Jokowi presidency: Legacies of past administrations. Southeast Asian Economies, 35(3), 402–424. doi:10.1355/ae35–3f

Mahmoud, M. (1990). The role of government in Accelerating industrial development in developing countries. Journal of King Abdulaziz University-Economics and Administration, 3(1), 85–97. doi:10.4197/eco.3–1.6

Movanita, A. (2018). Jejak Pertumbuhan Ekonomi Indonesia dari Masa ke masa. Retrieved from https://jeo.kompas.com/jejak-pertumbuhan-ekonomi-indonesia-dari-masa-ke-masa

Resosudarmo, B. P., & Kuncoro, A. (2006). The political economy of Indonesian Economic Reforms: 1983–2000. Oxford Development Studies, 34(3), 341–355. doi:10.1080/13600810600921893

Rock, M. T. (2003). The politics of development policy and development policy reform in new Order indonesia. SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.470082

Verico, K. (2021, January 17). Global pandemic 2020: Indonesia’s output gap and Middle-Income Trap Scenario. Retrieved from https://www.lpem.org/global-pandemic-2020-indonesia%E2%80%99s-output-gap-and-middle-income-trap-scenario/

Wie, T. K. (2012). Indonesia’s economy since independence. doi:10.1355/9789814379540

World Bank. (2020). Aspiring Indonesia: Expanding the middle class. Retrieved from https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/aspiring-indonesia-expanding-the-middle-class

World Bank. (2021). GDP (current US$). Retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?locations=1W

World Bank. (2021). Services, value added (% of GDP) — Indonesia. Retrieved from https://data.worldbank.org/indicator/NV.SRV.TOTL.ZS?locations=ID

--

--

Progresa

A student-run think tank with the primary goal of advocating progress and promoting awareness of the issues of the future