How Exclusive Law-Making Process Hinders Progress: Pelajaran Penting dari Proses Pembentukan UU yang Non-Inklusif

Progresa
4 min readApr 19, 2022

--

Masih kurangnya representasi bagi komunitas yang terdampak dalam proses legislasi tentunya memberikan sebuah pertanyaan besar terhadap prosesi yang berjalan. Tentunya hal itu juga memunculkan pertanyaan yang lebih besar lagi setelah proses legislasi itu selesai, dimana kita bisa melihat hukum-hukum yang dirilis tidak mendukung bagi beberapa komunitas tertentu.

Pernahkah anda berpikir mengapa pelarangan rambut panjang di sekolah tidak berlaku di universitas ? dalam skala yang global, mengapa Kebijakan Mao Zedong untuk memusnahkan burung pipit berdampak terhadap kematian 45 juta orang ? dalam skala nasional, mengapa perubahan kedua UU Komisi Anti Korupsi (UU 19/2019) membawa defisiensi dalam memulihkan aset korupsi ?.

Contoh diatas menjadi satu isu kebijakan publik yang disebut dengan bad laws. Tidak semua hukum dan aturan yang berasal dari sekolah, orangtua, atau bahkan negara bisa dianggap sebagai “good laws”. Lantas apa yang bisa membedakan “good laws” dengan “bad laws” dan bagaimana kita bisa menghubungkannya dengan artikel ini ?

Foto Philip Selznick (sumber: The Academic Senate — University of California)

Mengutip Selznick bahwa “apa yang membedakan good dan bad laws adalah adanya partisipasi komunitas yang terdampak dan substansi hukum yang proporsional bagi komunitas yang terdampak”. Pesan yang Selznick coba sampaikan merupakan bagaimana proses legislasi seharusnya secara inklusif mengundang komunitas-komuntias yang terdampak terutama komunitas yang termarginalisir, tidak hanya pemerintahan saja. Susi Harijanti, Professor Fakultas Hukum Universitas Padjajaran berpendapat bahwa “proses legislasi yang buruk akan membuat aturan yang buruk juga bagi masyarakat”. dari gagasan ini kita bisa memahami metode non-inklusif dalam legislasi hanya akan menghasilkan aturan yang buruk, dimana aturan tersebut tidak proporsional bagi kepentingan komunitas yang termarjinalkan.

Hanya ilustrasi di Ace Courtney, Pemerintah akan menjadi Sisi Netral yang memainkan pembuat aturan dan penegak aturan untuk karyawan dan mempekerjakan Pekerja

Beruntung di dunia modern ini, terdapat satu mekanisme dalam menghindari diimplementasikan bad laws di masyarakat. Mekanisme yang bernama Judicial Review ini membantu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam meninjau kembali hukum-hukum problematik untuk dikoreksi melalui penyelidikan lebih lanjut.

Sebagai contoh kita bisa menggunakan RUU Ciptaker (UU 11/2020) sebagai satu Kasus pembahasan artikel ini. Ketika kita membahas RUU Ciptaker, kita juga membahas tentang perbedaan kekuatan antara tiga aktor utama yaitu (i) Pemerintahan, (ii) Perusahaan (oligarki), (iii) dan Para Tenaga Kerja.

Apa yang kami tangkap dari hukum tenaga kerja bahwa Pemerintahan berperan sebagai pembuat aturan yang “netral” dan juga penegak hukum (Artikel 102 RUU Ketenagakerjaan). Tenaga Kerja berada di posisi yang lebih lemah sedangkan oligarki berada di posisi yang lebih kuat karena posisi tawar menawar mereka yang lebih efektif {Penjelasan umum dari RUU Ketenagakerjaan). Namun ketika melihat kembali proses legislasi, aturan dari law making melalui UU 12/2011 menyatakan bahwa ‘setiap komunitas (dalam kasus ini oligarki dan aliansi buruh) memiliki hak untuk didengar”. Celah antara RUU ini memaksa Mahkamah Konstitusi untuk mengambil inisiatif. Menguip Hikmahanto Juwana, Professor Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk meluaskan hak bagi setiap komunitas, mereka memiliki (i) Hak Untuk Didengar (ii) Hak Untuk DIpertimbangkan (iii) dan Hak Untuk Dijelaskan

Pelantikan HAKIM Konstitusi Anwar Usman kembali terpilih sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk periode 2016–2018 melalui Rapat Permusyawarahan Hakim (RPH). (Sumber: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/39659/mk-kembali-pilih-anwar-usman-sebagai-wakil-ketua)

Tentunya hal tersebut masih merupakan angan-angan belaka sebab pembentukan UU dalam melibatkan masyarakat marjinal itu hanya sebatas opsional saja. Padahal semua harus terlibat tidak terkecuali pemerintahan dan pemain dari sektor yang terkena dampaknya. Bukan tanpa alasan inklusifitas harus diterapkan dalam lawmaking sebab untuk melihat strategi implementasi kebijakan yang optimal dan terbaik, maka masukan dari segala arah tentunya sangat diapresiasi pada proses tersebut. Oleh karena itu proses pembentukan UU pun juga harus diupayakan dengan hati-hati, bukan hepi-hepi.

Written by: Muhammad Hamzah Al-Faruq
Edited by: Abdan Syakoero Aufarridho
Rayhan Prabu Kusumo

Referensi:

  1. Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU UU).
  2. Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (RUU Cipta Karya).
  3. Indonesia. Ketetapan Konstitusi Nomor 69/PUU-XVIII/2020 perihal Uji Coba Formal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 RUU Cipta Karya.
  4. Indonesia. UU Nomor 13 Tahun 2003 RUU Ketenagakerjaan.
  5. Dewan Perwakilan Rakyat. Open Parliament Indonesia. Rencana Aksi Nasional. Bisa diakses di sini: https://openparliament.id/wp-content/uploads/2021/07/Paparan-OPI-Introduction.pdf
  6. Philippe Nonet & Philippe Selznick. Hukum Respnsif. Bandung: Nusamedia. 2015: hal: 83–85.
  7. Pusat Perumusan Legislatif Indonesia. Apakah Pemerintah Serius dalam Proses Pembuatan RUU? Dapat diakses dengan mudah di sini: https://www.youtube.com/watch?v=gyyq_gaySeA&t=264s&ab_channel=ICLDIndonesianCenterforLegislativeDrafting
  8. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Policy Paper: Catatan Kritis RUU Cipta Kerja. November 2020. Dapat diakses dengan mudah di sini: https://rispub.law.ugm.ac.id/2020/11/06/kertas-kebijakan-catatan-kritis-terhadap-uu-no-11-tahun-2020-tentang -cipta-kerja/ Karya Tulis
  9. Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 (RUU Cipta Karya).
  10. Muhammad Ali Safaat. (2020) Terbentuknya UU Yang Demokratis. Kompas. [Online] 17 Oktober. Dapat diakses: https://www.academia.edu/44 321326/Pembentukan_UU_Demokratis_Kompas_17_Oktober

--

--

Progresa

A student-run think tank with the primary goal of advocating progress and promoting awareness of the issues of the future