Justifikasi Digitalisasi pada Kesehatan Mental, Etiskah? Sebuah Diskursus Humanitas dan Kecerdasan Buatan

Progresa
8 min readApr 23, 2021

--

Konvergensi teknologi dan informasi mengalami eskalasi selama 1 dekade terakhir. Hal ini tak urung turut mengubah diseminasi informasi publik hingga dinamika komunikasi pada tingkat interpersonal. Sejak tahun 2011 lalu, konsep tentang Revolusi Industri 4.0 mulai dikenal publik. Istilah ini kembali dipopulerkan oleh Prof. Klaus Schwab (Ahli Ekonomi dan Pendiri World Economic Forum) pada tahun 2016 yang menandai fase integrasi antara teknologi otomatisasi dengan cyber. Implikasi dari hal ini adalah munculnya disrupsi inovasi di bidang IPTEK seperti Cloud Computing, Internet of Things dan Big Data Analytics yang diprediksi akan diadopsi oleh perusahaan dari berbagai sektor secara global hingga tahun 2025 (Future of Jobs Survey, 2020).

Aplikasi teknologi dalam Revolusi Industri 4.0 umumnya menekankan pada interkonektivitas. Menurut Kasali dalam Mubarak (2018), dengan adanya interkoneksi terdapat 4 ciri khas dari Revolusi Industri 4.0 yaitu kepraktisan (simple), kecepatan (faster) keterjangkauan harga (cheaper) dan kemudahan akses (accessible). Simple berarti menyederhanakan suatu hal kompleks. Disini contohnya terkait pengembangan layanan kesehatan mental dengan sebutan Telepsikologi. Layanan berbasis daring tersebut memberikan kemudahan dalam menginterpretasikan data kondisi pasien secara real time sehingga berpotensi meminimalisir risiko yang tidak dikehendaki. Keunggulan lain yang ditawarkan berhubungan dengan kecepatan -mengambil pemahaman konsep Faster- dalam menyediakan layanan jarak jauh guna mengintervensi keterbatasan jumlah tenaga medis. Dari segi finansial, timbul optimalisasi jumlah dana yang disalurkan baik dari pihak pasien maupun penyedia layanan kesehatan mental. Hal ini memiliki relevansi dengan elemen cheaper. Terakhir, mempersempit kesenjangan sosial untuk masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke bawah dalam upaya mengakses layanan kesehatan mental.

Ditinjau dari lingkup kerjanya, sektor kesehatan menjadi salah satu kriteria okupasi berisiko tinggi. Ketelitian tenaga kesehatan dalam mengidentifikasi gejala penyakit pasien mempengaruhi alur dari penanganan medis yang akan diterima. Faktor keakuratan dijunjung untuk menghindari kelalaian mikro dari penanganan konvensional oleh manusia dapat berkonsekuensi hingga mengancam nyawa. Transformasi teknologi Kecerdasan Buatan (artificial intelligence) menjanjikan akselerasi ekuitas kesehatan, sehingga dengan itu, kualitas kesehatan masyarakat secara global diharapkan dapat meningkat. Kecerdasan Buatan menurut EU Commission didefinisikan sebagai sistem perangkat lunak yang didesain oleh manusia untuk mengumpulkan data, mengolah informasi, serta menarik kesimpulan dari rangkaian data tersebut untuk kemudian menentukan keputusan yang tepat dalam rangka mencapai suatu target. Cakupan dari studi terkait Kecerdasan Buatan terdiri dari beberapa pendekatan, salah satu contohnya adalah machine learning yang mengadaptasi kemampuan manusia dalam deep learning dan optimalisasi kinerja algoritma melalui reinforcement learning.

Dalam sektor kesehatan masa kini, secara populer kecerdasan buatan diimplementasikan untuk mempermudah tenaga medis melakukan diagnosis pasien dan mengintervensi timbulnya bias akibat human error. Lysaght, dkk (2019) dalam penelitiannya mengemukakan Clinical Decision Support Systems (CDSS) sebagai salah satu inovasi Kecerdasan Buatan melalui automated decision-making. Dalam studi kasus ditemukan CDSS yang mampu mengakomodir informasi secara real time mengenai peluang pasien untuk bertahan hidup dan kemampuan dalam memulihkan kondisi fisik. Pada tahapan dengan kompleksitas tinggi, teknologi ini mampu mendiagnosis kondisi kesehatan mental seseorang dikombinasikan dengan machine learning untuk menganalisis karakteristik emosi dan kepribadian melalui sistem yang disebut psychological profiling.

Fungsi utama dari psychological profiling yaitu untuk mendapatkan informasi pra kondisi pasien sebagai bentuk efisiensi pada tahap diagnosis dalam rangka mengintervensi timbulnya gejala kesehatan mental lebih lanjut. Hal ini tentu mempermudah dan mempercepat kebutuhan informasi dari pasien. Hasil prediksi yang disuguhkan juga memiliki tolok ukur nilai akurasi yang presisi dibandingkan dengan tenaga kesehatan konvensional. Contoh dari profiling system yaitu Convolutional Neural Network, sebuah metode deep learning yang berfungsi mengklasifikasikan pola kondisi kesehatan mental manusia melalui gambar atau video visualisasi wajah hingga pengenalan identitas suara.

Sebuah CNN memiliki satu model kurasi data yang terdiri dari beberapa lapisan (layer). Tidak ada ketentuan universal dalam penggunaan jumlah lapisan karena hal ini ditentukan dari jumlah kumpulan data yang diolah. Terdapat 3 tahapan dalam penggunaan CNN: (1) Convolutional Layer, (2) Pooling Layer dan (3) Fully Connected Layer. Pada proses awal, dilakukan ekstraksi fitur dengan mengaplikasikan kernels ke seluruh bagian sampel wajah yang diinput. Selanjutnya dilakukan reduksi ukuran kernels pada Pooling Layer sehingga meningkatkan invariansi posisi fitur yang sebelumnya ada di Convolutional Layer. Biasanya metode yang digunakan adalah max pooling dengan mengambil nilai maksimal dari tiap kelompok grid untuk memperkecil matriks. Tahapan terakhir masing-masing dari neuron dari lapisan saling terhubung dengan neuron lapisan selanjutnya. Dalam tahap ini, CNN mampu menarik kesimpulan berupa hipotesis tentang kondisi kesehatan mental seseorang sebelum diolah dengan metode klasifikasi.

Gambar 1: Alur Tahapan CNN. Sumber: Su et al. (2020)

Isu Etis dalam Kecerdasan Buatan psychological profiling

Peraturan hukum di setiap negara secara legal memayungi setiap aktivitas manusia dari berbagai sektor. Hal ini guna menjamin segala bentuk tingkah laku sesuai dengan pandangan etis maupun norma yang berlaku. Penggunaan teknologi sebagian besar menjadi aktivitas manusia di dunia digital saat ini. Akibatnya timbul inisiasi untuk membuat kebijakan di dunia maya dalam rangka melindungi data privasi yang menjadi hak masing-masing individu.

Penegakan regulasi untuk perlindungan data privasi telah diterapkan cukup ketat sejak tahun 2016 oleh negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Peraturan hukum ini tertuang dalam General Data Protection Regulation (GDPR). yang diantaranya mengatur tentang pengembangan kecerdasan buatan di sektor kesehatan. Nantinya dalam dunia medis, kecerdasan buatan mampu untuk menghasilkan personalised medicine dengan pendekatan analisis keadaan tiap individu.

Pada lingkup penanganan kesehatan mental, kebijakan tentang profiling system telah diatur dalam Art. 22 GDPR. Namun meninjau ulang dari segi etika, penemuan Kecerdasan Buatan dalam memprofil kesehatan mental berpotensi menciptakan pengaruh negatif. Contohnya kasus umum seperti transaksi ilegal rekam kesehatan elektronik oleh pihak-pihak berkepentingan untuk meraih keuntungan. Hal ini mendorong adanya identifikasi mendalam untuk mencegah timbulnya bahaya dari penggunaan kecerdasan buatan di ranah kesehatan. Berdasarkan hasil riset Murphy, K., dkk (2021) ditemukan 3 pilar landasan permasalahan etis yang umumnya terjadi dalam penerapan kecerdasan buatan di sektor kesehatan:

  1. Hambatan Bias Algoritma
  2. Transparansi Data
  3. Akuntabilitas

Hambatan Bias Algoritma

Permasalahan klise dari tidak luputnya aktivitas manusia dari kesalahan alias human error maupun bias menjadi pertimbangan khusus dalam meningkatkan efektivitas serta efisiensi pekerjaan terutama di sektor kesehatan. Kesalahan sistematis ini dapat terjadi pada tahap pengumpulan data dan penyusunan algoritma pada machine learning.

Perlu diketahui perancangan dari Kecerdasan Buatan melalui berbagai tahap penelitian dan proses uji kelayakan yang memakan waktu hingga bertahun-tahun. Kecerdasan Buatan yang mengalami disfungsi akan menimbulkan ancaman seperti halnya penelitian mengejutkan dari Simcock, dkk (2020) yang menemukan adanya bias dalam riset terkait “Hubungan Facial Emotion Recognition dan Gangguan Kesehatan Mental pada Kaum Remaja”. Terdapat sejumlah 40 remaja berusia 12 tahun dengan gangguan kecemasan, somatisasi dan depresi yang menjadi sampel penelitian. Hasil studi memaparkan bahwa kaum remaja dengan gangguan kesehatan mental akut berhubungan dengan raut wajah yang menunjukkan ekspresi marah, takut dan datar. Namun ekspresi sedih tidak berkorelasi menunjukkan partisipan memiliki gangguan kesehatan mental.

Bila dibandingkan dengan penelitian lain, raut wajah datar mengalami kontras dengan hasil penelitian Melfsen (2002) terhadap kaum remaja dengan gangguan kecemasan sosial yang menunjukkan raut wajah datar sebagai ungkapan emosi bukan menunjukkan adanya gangguan psikologis. Kesimpulannya, faktor-faktor seperti perbedaan usia partisipan dalam kelompok kaum remaja, kriteria diagnosa ataupun teknik asesmen dari facial emotion recognition menghasilkan respon tersendiri yang tidak saling berkesinambungan. Hal ini perlu menjadi catatan penting bagi pengembangan Kecerdasan Buatan seperti facial emotion recognition untuk menambahkan berbagai variabel-variabel unik. Contohnya jangkauan dari variabel harus mencakup seluruh kategori dari gangguan mental yang pernah dialami oleh manusia secara global. Selain itu penambahan variabel untuk mengidentifikasi ras dan etnis tertentu dalam praktiknya dapat menghindari timbulnya bias atau diskriminasi kaum minoritas.

Transparansi Data

Sebelumnya sempat disinggung mengenai pengaturan tentang profiling system pada Art 22 General Data Protection Regulation. Pada poin Art 22(1), dijabarkan mengenai hak individu untuk memperoleh informasi tentang pengolahan data rekam kesehatan elektronik dari proses profiling secara spesifik. Individu disini memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan baik menyetujui maupun menolak mekanisme pengolahan data rekam medis lebih lanjut.

Transparansi disini berdampak krusial sebagai bentuk pemenuhan hak asasi manusia dalam mendapatkan perlindungan dari ancaman yang dapat ‘mengganggu’ keselarasan hidupnya dan orang terdekat. Penggunaan kecerdasan buatan yang tidak memaparkan sertifikasi lolos uji, mekanisme pengolahan data hingga output yang diberikan akan rentan pada tidak optimalnya kinerja Kecerdasan Buatan yang dapat membahayakan nyawa pasien.

Akuntabilitas

Berdasarkan Survei National Institute for Health Research oleh RAND Europe, sejumlah 299 stakeholders menyampaikan opini mengenai gambaran dunia kesehatan di Eropa pada 20–30 tahun mendatang. Sebagian besar dari responden tersebut berpendapat bahwa diperlukan adanya transformasi teknologi dalam bidang kesehatan untuk meningkatkan performa sistem yang lebih baik. Hal ini dimulai dari perombakan struktur organisasi, alur penanganan kesehatan maupun diterapkan edukasi yang terarah tentang akses data pasien sesuai dengan hukum yang berlaku.

Tanggung jawab di pundak peneliti, ahli pemrograman dan tenaga kesehatan merupakan mata rantai yang tidak terputus. Pemahaman tentang konsep Kecerdasan Buatan harus melewati sertifikasi khusus sebagai bentuk jaminan tanggung jawab dan keselamatan pasien. Adanya mekanisme yang transparan akan meredam isu-isu terkait akuntabilitas maupun pertanyaan etis seputar penggunaan Kecerdasan Buatan dalam ranah kesehatan.

Kesimpulan

Mengutip dari Peter Foltz, seorang peneliti dari Institute of Cognitive Science: “We are not in any way trying to replace clinicians, but we do believe we can create tools that will allow them to better monitor their patients.”

Kemajuan teknologi bukan berarti menjadi degradasi etis umat manusia. Perkembangan zaman yang kian pesat merupakan peluang bagi manusia untuk memanfaatkan teknologi secara tepat guna dan tepat sasaran. Bila mengulur tali lebih jauh, tujuan utamanya tidak hanya berhenti untuk mendukung keberlangsungan hidup di tengah masyarakat. Harapan besar dari sumbangsih penemuan teknologi di bidang kesehatan yaitu untuk mempertahankan eksistensi dari umat manusia hingga ke generasi selanjutnya.

Ditulis oleh: Amanda Celine Raissa S.

Referensi

Chandler, C., dkk. (2019). Using Machine Learning Psychiatry: The Need to Establish a Framework That Nurtures Trustworthiness. Schizopheria Bulletin, 46 (1), 11–13. doi:10.1093/schbul/sbz105

Djafar, W. & Santoso, M. Jodi. (2019). Perlindungan Data Pribadi: Pentingnya Otoritas Pengawasan Independen, 13–14. https://elsam.or.id/wp-content/uploads/2020/07/Policy-Paper-3_Otoritas-Independen-PDP.pdf

Lysaght, T., dkk. (2019). AI-Assisted Decision-making in Healthcare. Asian Bioethics Review. https://doi.org/10.1007/s41649-019-00096-0

Melfsen, S., & Florin, I. (2002). Do socially anxious children show deficits in classifying facial expressions of emotions? Journal of Nonverbal Behavior, 26.

(17) (PDF) Biased Recognition of Happy Facial Expressions in Social Anxiety. Available from: https://www.researchgate.net/publication/247839474_Biased_Recognition_of_Happy_Facial_Expressions_in_Social_Anxiety [accessed Apr 21 2021].

Mubarak, Zaki. (2018). Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0 dan Problematika Pendidikan Tinggi, Yogyakarta: Ganding Pustaka

Murphy, K., dkk. (2021). Artificial intelligence for good health: a scoping review of the ethics literature. BMC Medical Ethics. doi: 10.1186/s12910–021–00577–8

Sari, Osi Kusuma, dkk. (2020). Kesehatan Mental di Era Digital: Peluang Pengembangan Layanan Profesional Psikolog, 30 (4), 339. doi: https://doi.org/10.22435/mpk.v30i4.3311

Simcock, G., dkk. (2020). Associations between Facial Emotion Recognition and Mental Health in Early Adolescence. International Journal of Environmental Research and Public Health, 17 (1). doi: 10.3390/ijerph17010330

Su, Chang, dkk. (2020). Deep learning in mental health outcome research: a scoping review. Translational Psychiatry. https://doi.org/10.1038/s41398-020-0780-3

Suwartika, I Wayan E.P., dkk. (2016). Klasifikasi Citra Menggunakan Convolutional Neural Network (Cnn) pada Caltech 101, 5 (1), A66-A67

STOA. (2020). The Impact of the General Data Protection Regulation (GDPR) on Artificial Intelligence. European Parliamentary Research Service. Diperoleh dari https://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/STUD/2020/654179/EPRS_STU(2020)654179_EN.pdf

World Economic Forum. (2020). The Future of Jobs Report 2020, 27. Diperoleh dari https://www.weforum.org/reports/the-future-of-jobs-report-2020

--

--

Progresa

A student-run think tank with the primary goal of advocating progress and promoting awareness of the issues of the future