Negara sebagai ‘Venture Capital’:
Membangun kembali Industri Manufaktur Indonesia menuju Indonesia Emas 2045

Progresa
17 min readMar 26, 2021

“I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” — B.J. Habibie

Menjadi negara maju. Kata-kata tersebut merupakan salah satu cita-cita luhur negara-bangsa Indonesia sejak negara ini melepaskan diri dari belenggu penjajahan tujuh dekade silam. Impian ini bukan hanya retorika belaka, melainkan merupakan kesimpulan akhir dari rentetan sejarah perkembangan setiap bangsa dan negara sejak era feodal, era kolonial, sampai era modern saat ini. Menjadi negara maju berarti menjadi negara dengan perekonomian berpendapatan tinggi yang memberikan penghidupan layak bagi semua, yang akhirnya dapat menjadi basis bagi suatu negara kesejahteraan (welfare state) dengan kualitas pendidikan kelas dunia, pelayanan kesehatan yang universal, dan jaminan sosial yang merata bagi semua golongan. Menjadi negara maju sinonim dengan peningkatan standar dan kualitas kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke tanpa kecuali.

Saat ini, visi menjadi negara maju sudah bermetamorfosis dalam bentuk baru: Visi Indonesia Emas 2045. Dalam Visi Indonesia Emas 2045, Indonesia diharapkan dapat memanfaatkan episode bonus demografi agar dapat menjadi mesin pertumbuhan yang membawa negara ini menuju status negara maju sebelum tahun 2045, persis satu abad setelah Indonesia merdeka. Dalam kondisi bonus demografi, proporsi penduduk usia kerja (15 sampai 64 tahun) terhadap populasi Indonesia secara keseluruhan akan mencapai titik maksimal-nya sekitar dekade 2030–2040. Bertambahnya jumlah tenaga kerja produktif pastinya berperan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, untuk mencapai status negara maju dengan pendapatan per kapita 12.535 dolar AS (PPP 2019) sebelum tahun 2045, Indonesia perlu konsisten mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi di sekitar 5%, suatu tantangan yang cukup sulit mengingat kondisi middle-income trap yang sering dialami oleh negara berkembang dengan karakteristik serupa seperti Indonesia (contoh: Brazil, Afrika Selatan, Turki, dsb.).

Grafik 1: Proyeksi Pendapatan per Kapita Indonesia. Sumber: Prof. Arief Anshory Yusuf

Grafik 2: Klasifikasi Negara berdasarkan Konvergensi Pertumbuhan dengan Amerika Serikat 1960–2008. Sumber: The Economist

Arah Pembangunan Saat Ini

Jika kita melihat riwayat sejarah ekonomi Indonesia, suatu tren yang semakin ketara adalah menurunnya tingkat pertumbuhan PDB tahunan. Jika pada era Orde Baru tahun 1980-an dan 1990-an pertumbuhan mampu mencapai angka 7%-8%, pertumbuhan PDB pasca-Reformasi pada dekade 2000-an dan 2010-an hanya bisa mencapai angka 5%-6% (Grafik 3). Sejak tahun 2013, pertumbuhan PDB konsisten berada di sekitar angka 5%. Bahkan, pada tahun 2020 Indonesia mengalami resesi pertama sejak Krisis Moneter 1998 dengan pertumbuhan tahunan negatif pada angka -2.07% sebagai konsekuensi dari pandemi COVID-19. Jika tren penurunan tingkat pertumbuhan ini terus terjadi, sangat mungkin Visi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi mimpi sejenak yang tidak mungkin bisa diraih.

Grafik 3: Pertumbuhan PDB Indonesia sebelum dan sesudah Krisis Moneter 1998. Sumber: World Bank

Hal ini menimbulkan pertanyaan: apa yang menyebabkan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi? Penjelasan atas hal tersebut tidak bisa dipisahkan dari transformasi yang saat ini terjadi dalam struktur perekonomian Indonesia pasca-1998, yang menyulitkan proses lepas landas menjadi negara maju. Terdapat dua fenomena ekonomi pasca-Reformasi yang dapat menjelaskan perlambatan pertumbuhan Indonesia. Yang pertama, meningkatnya ketergantungan pada sumber daya alam, dan kedua melemahnya peran industri manufaktur dalam perekonomian alias deindustrialisasi prematur. Salah satu mitos ekonomi yang sering beredar di masyarakat adalah kepercayaan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) dimana optimalisasi sumber tersebut saja sudah cukup untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Sejarah ekonomi telah membuktikan bahwa ini hanyalah kepercayaan buta tanpa dasar ilmiah yang kuat. Pertumbuhan pesat menjadi negara maju melalui ekstraksi sumber daya alam hanya mungkin terjadi kepada suatu negara jika negara tersebut adalah negara dengan populasi kecil yang memiliki sumber daya minyak bumi yang besar (Cherif & Hasanov, 2019). Negara-negara yang termasuk dalam golongan tersebut adalah negara Timur Tengah seperti Uni Arab Emirat, Qatar, Oman, dan Bahrain yang memiliki cadangan minyak bumi yang melimpah. Di sisi lain, sejarah telah membuktikan: hampir semua negara yang sukses menjadi negara maju adalah negara yang sukses melewati proses transformasi struktural dalam mengembangkan industri manufaktur negara tersebut (Grafik 4).

Grafik 4: Korelasi antara Tingkat PDB per Kapita 2005–2020 dan Peak Manufacturing Employment Share. Sumber: Asian Development Bank

Ketergantungan pada SDA malah menjadi faktor yang menghambat pembangunan suatu negara menjadi negara maju. Fenomena ini disebut juga dengan istilah the resource curse. Istilah tersebut mengacu pada fenomena di mana negara dengan potensi sumber daya alam yang tinggi cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibanding negara dengan potensi SDA yang kecil. Hal ini dapat terjadi karena sektor ekstraksi SDA merupakan low-hanging fruit yang menarik (crowding out) dana investasi dan human capital dari sektor lain yang lebih produktif. Ekspor SDA juga cenderung menyebabkan apresiasi nilai tukar mata uang suatu negara, yang berlanjut pada penurunan daya saing produk ekspor manufaktur. Resource curse juga pernah terjadi di Indonesia. Pasca Reformasi, siklus komoditas yang terjadi pada dekade 2000-an meningkatkan permintaan dan harga komoditas seperti batu bara dan minyak sawit dengan drastis. Alhasil, terjadi crowding-out dana investasi dan sumber daya manusia dari sektor manufaktur padat karya ke sektor-sektor primer. Swasta mulai meninggalkan manufaktur karena return dan biaya investasi yang tidak sebanding dengan yang bisa diperoleh di sektor primer. Hasilnya, sumber daya alam seperti batu bara dan minyak sawit menjadi komoditas ekspor yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada dekade 2000-an. Hal ini tercerminkan dalam porsi ekspor SDA dalam ekspor keseluruhan dari tahun 1999 sampai tahun 2004 (Grafik 5). Pada tahun 2000, minyak sawit dan batubara bahkan tidak masuk dalam daftar komoditas ekspor paling dominan. Empat belas tahun kemudian, minyak sawit dan batubara keduanya menjadi komoditas ekspor utama Indonesia, mengalahkan komoditas ekspor lain seperti barang elektronik dan tekstil.

Grafik 5: Proporsi Ekspor sesuai Jenis Barang. Sumber: Wihardja (2016)

Tabel 1: 10 Besar Barang Ekspor menurut Porsi Ekspor tahun 2000 dan 2014. Sumber: Wihardja (2016)

Berakhirnya siklus komoditas dan menurunnya harga komoditas SDA pasca-Krisis Finansial Global 2008 juga menandakan akhir dari pertumbuhan yang dipandu oleh ekstraksi sumber daya alam. Alhasil, pertumbuhan Indonesia turun dari rata-rata 6% menjadi 5%. Sumber daya alam saja jelas tidak akan cukup untuk menopang pembangunan Indonesia karena volatilitas yang inheren dalam harga dan permintaan global terhadap SDA. Seperti yang sudah disebutkan, the resource curse malah dapat menghambat perkembangan sektor yang paling penting untuk pembangunan Indonesia: industri manufaktur. Hal ini berhubungan erat juga dengan permasalahan struktural kedua yang dihadapi perekonomian Indonesia: deindustrialisasi prematur.

Sebelum membahas tentang fenomena tersebut, perlu dipahami bahwa sektor manufaktur memegang peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi, yang mungkin lebih penting dari sektor-sektor lainnya seperti sektor jasa dan pertanian. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa pertumbuhan produktivitas (pertumbuhan output per unit tenaga kerja) sektor manufaktur cenderung lebih tinggi dibanding sektor-sektor lainnya. Ekonomi skala dan aglomerasi produksi lebih mudah terjadi dalam sektor manufaktur, sehingga memudahkan proses akumulasi modal (ADB, 2019). Perkembangan teknologi juga cenderung terjadi lebih cepat dalam sektor manufaktur, dan merupakan sumber utama pertumbuhan produktivitas berbasis teknologi bagi suatu perekonomian. Selain itu, manufaktur juga memiliki kelebihan dibandingkan sektor lain karena barang produksi manufaktur memiliki tradability yang lebih tinggi (lebih mudah diperdagangkan). Hal ini yang menjadi alasan mengapa industri manufaktur masih tetap diandalkan banyak negara untuk menumbuhkan nilai ekspor (ADB, 2019). Selain itu, Rodrik (2013) juga menunjukkan bahwa sektor manufaktur merupakan satu-satunya sektor yang menghasilkan konvergensi pertumbuhan antara negara berkembang dan negara maju. Untuk menjadi negara maju, peran sektor manufaktur tidak bisa dikesampingkan.

Pertumbuhan menakjubkan (hampir double-digit) yang dialami Tiongkok dan negara-negara Macan Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan juga tidak lepas dari peran sektor manufaktur. Negara-negara tersebut umumnya melewati tahapan pengembangan industri manufaktur padat karya dengan teknologi rendah, sebelum menaiki tangga nilai tambah dengan berfokus pada industri padat modal berteknologi tinggi seperti barang elektronik & semikonduktor, perkapalan, dan otomotif. Sayangnya, hal sebaliknya malah terjadi dalam kasus Indonesia. Alih-alih mengalami industrialisasi pesat menuju industri teknologi tinggi pasca industrialisasi padat karya era 80-an dan 90-an, Indonesia malah mengalami deindustrialisasi prematur yang didorong juga oleh commodity boom. Dalam kondisi deindustrialisasi prematur, porsi sektor manufaktur dalam PDB dan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan menurun jauh sebelum porsi tersebut mencapai titik potensial maksimum. Dalam kasus Indonesia, porsi sektor manufaktur terhadap PDB mencapai puncaknya pada tahun 2002, jauh di bawah porsi puncak yang umumnya dicapai negara maju, yaitu sekitar 35%-45%. Porsi tersebut kian menurun tiap tahunnya dan pada tahun 2019 porsi berada di sekitar angka 19% (Grafik 6).

.

Grafik 6: Kontribusi Nilai Tambah Sektor Manufaktur dalam PDB. Sumber: Faisal Basri

Mengapa peran manufaktur dalam perekonomian semakin tergerus? Terdapat beberapa faktor utama, antaranya persaingan dengan industri manufaktur Tiongkok dan meningkatnya automation dalam proses produksi. Crowding out dana investasi dan sumber daya manusia ke sektor SDA seperti minyak sawit dan batubara juga turut berkontribusi. Namun, faktor yang paling penting adalah kegagalan industri Indonesia untuk melakukan upgrading dari segi skala dan inovasi produksi, prasyarat penting yang perlu dipenuhi untuk memasuki industri berbasis pengetahuan dan teknologi tinggi. Banyak perusahaan manufaktur Indonesia saat ini yang hanya berperan dalam assembly komponen produksi bagi perusahaan multinasional asing (ADB, 2019), tanpa kemampuan menghasilkan indigenous innovation. Hal ini salah satunya disebabkan oleh belum adanya kebijakan jangka-panjang yang koheren dan berskala besar dari pemerintah untuk membangun industri manufaktur (industrial policy) saat itu. Bisa dibilang bahwa Indonesia menganut kebijakan yang cukup lassez-faire terkait pembangunan industri jika dibandingkan dengan pengalaman pembangunan yang dialami negara Macan Asia seperti Taiwan dan Korea Selatan. Di negara-negara tersebut, pemerintah aktif mendorong dan mendisiplin sektor manufaktur agar bisa masuk dalam industri tech-frontier, agar tidak selamanya terperangkap dalam industri padat karya dengan nilai tambah rendah.

Apa implikasi dari ketergantungan SDA dan deindustrialisasi prematur terhadap pertumbuhan ekonomi, sekaligus terhadap proses menuju visi Indonesia Emas 2045? Jika proses ini terus terjadi dan peran sektor manufaktur semakin tergerus, pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan akan terus stagnan dan Indonesia akan terperangkap dalam middle-income trap. Yang pasti, Indonesia tidak dapat lagi bergantung pada comparative advantage SDA dan industri padat karya untuk menopang pembangunan di saat negara lain mulai meninggalkan penggunaan bahan bakar fosil dan mengurangi konsumsi komoditas primer, serta munculnya industri padat karya dengan upah yang lebih murah di negara-negara seperti Bangladesh dan Vietnam.

Hal ini juga menimbulkan pertanyaan: mengapa swasta selama ini gagal mengarahkan struktur ekonomi Indonesia menuju sektor yang lebih produktif? Dalam kasus ini, terjadinya kegagalan pasar yang membatasi alokasi sumber daya optimal (Cherif & Hasanov, 2019). Kegagalan pasar pertama adalah kegagalan learning externality. Swasta gagal menginternalisasi manfaat produktivitas dari investasi dalam sektor manufaktur dibanding investasi sektor lain. Swasta juga gagal menginternalisasi eksternalitas spillover produksi terhadap sektor lain (contoh: manufaktur terhadap jasa) yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung. Selain learning externalities, terdapat juga coordination failure. Investasi dalam sektor manufaktur umumnya membutuhkan adanya ekosistem awal yang memadai, yang sudah diisi oleh perusahaan-perusahaan lain di sektor serupa. Perusahaan hanya akan mendapatkan keuntungan memasuki sektor manufaktur jika terdapat perusahaan-perusahaan lain yang memasuki sektor tersebut pada saat bersamaan juga. Dalam hal ini, diperlukannya pemerintah untuk membangun ekosistem awal yang memadai agar pasar dapat bekerja dengan baik.

Dalam kasus terjadinya kegagalan dalam pasar, pemerintah harus melakukan intervensi kebijakan. Ini berbeda dari kesimpulan teori ekonomi konvensional sesuai model neoklasik yang menyatakan bahwa dalam hal pembangunan, pemerintah hanya cukup menjamin kebijakan makroekonomi yang prudent serta liberalisasi pasar untuk melindungi dan mendorong hak kepemilikan. Selain itu, pemerintah juga harus menyiapkan public goods horizontal seperti infrastruktur, dan institusi pendidikan yang memadai untuk menciptakan human capital yang mumpuni. Paket kebijakan seperti itu dikenal juga dengan istilah ‘The Washington Consensus’. Menurut konsensus ini, intervensi dalam aspek lain hanya akan menciptakan distorsi yang menghambat efisiensi pasar dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas. Negara harus membiarkan pasar bekerja agar mampu mengembangkan comparative advantage negara tersebut.

Faktanya, mengikuti teori ekonomi konvensional saja tidak akan cukup. Comparative advantage Indonesia adalah dalam sektor sumber daya alam dan industri padat karya — Indonesia akan selamanya terperangkap dalam middle-income trap jika hanya mengembangkan comparative advantage yang sudah ada tanpa mencoba mengembangkan comparative advantage baru. Jika Korea Selatan mengikuti teori ekonomi konvensional saja, mereka tidak akan memiliki konglomerat kelas dunia seperti Samsung dan Hyundai dengan comparative advantage dalam industri otomotif dan elektronik. Sangat mungkin Korea Selatan akan selamanya menjadi negara pengekspor tekstil dan beras. Selain aspek comparative advantage, kestabilan makroekonomi, infrastruktur, dan human capital saja tidak mencukupi untuk menjamin suatu negara akan tumbuh dengan pesat. Ini tidak menafikan bahwa faktor-faktor tersebut memegang peran penting dalam pembangunan, namun faktor-faktor tersebut hanyalah necessary condition (prasyarat) untuk pertumbuhan cepat, bukan sufficient condition yang menjamin suatu negara akan menjadi maju. Untuk hal tersebut, diperlukan the visible hand of the state untuk mengarahkan the invisible hand of the market. Dalam kasus Indonesia, pemerintah sudah seharusnya melakukan intervensi terhadap kegagalan pasar yang sudah dan saat ini terjadi. Dengan kata lain, dan menggunakan analogi kultur start-up, di saat pasar gagal menjadi ‘venture capital’ yang mengarahkan transformasi struktur ekonomi menuju industri manufaktur berteknologi tinggi, maka pemerintah harus turun tangan untuk mempercepat transformasi tersebut, alias menjadi ‘venture capital’ dalam perekonomian.

Negara sebagai Venture Capital

“For too long, people have acted as if the private sector were the primary driver of innovation and value creation and therefore were entitled to the resulting profits. But this is simply not true. Pharmaceutical drugs, the Internet, nanotechnology, nuclear power, renewable energy — all were developed with an enormous amount of government investment and risk taking, on the backs of countless workers, and thanks to public infrastructure and institutions.” — Mariana Mazzucato

Mungkin masih banyak yang belum menyadari peran penting sektor publik dalam mendorong inovasi dan transformasi struktural dalam perekonomian. Narasi yang umum digembar-gemborkan di publik adalah bagaimana perusahaan-perusahaan teknologi startup swasta merupakan masa depan perekonomian Indonesia melalui inovasi dalam AI, Big Data, dan sebagainya. Hal ini menghasilkan dikotomi palsu tentang sektor swasta yang inovatif dan efisien dan sektor publik yang kaku dan inefisien. Faktanya, pemerintah sering menjadi penggerak awal inovasi dalam perekonomian terutama dalam hal basic research. Sebagai contoh, ponsel iPhone yang selalu digembor-gemborkan sebagai bukti kapasitas swasta dalam melakukan breakthrough innovation sebenarnya merupakan hasil akhir dari rentetan riset dan penelitian sektor publik di Amerika Serikat (Grafik 7). Contoh inovasi lain adalah Internet, yang merupakan pengembangan dari jaringan prototipe yang dikembangkan oleh Defense Advanced Research Project Agency (DARPA) Amerika Serikat.

Grafik 7: Komponen-komponen Inovasi iPhone. Sumber: Mazzucato (2013)

Prinsip yang sama juga berlaku dalam kasus negara berkembang. Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa pertumbuhan negara Macan Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan tidak hanya didasari oleh institusi yang bersih dan human capital yang berkualitas tinggi, tetapi juga didasari oleh intervensi skala besar pemerintah dalam perekonomian untuk mendorong inovasi di sektor swasta. Negara yang melakukan intervensi tersebut disebut juga dengan istilah ‘the developmental state’. Ambil contoh Korea Selatan, yang memulai kebijakan developmental state pada dekade 1960-an, di bawah era pemerintahan Park Chung-hee. Pada hari-hari awal era pemerintahan beliau, salah satu tindakan pertama beliau adalah memenjarakan seluruh pimpinan konglomerat terbesar di Korea Selatan seperti Samsung, Hyundai, dan LG atas dugaan penggelapan dan pencatutan berlebihan (Adler, 2019). Konglomerat-konglomerat ini dikenal juga dengan istilah chaebol. Pimpinan-pimpinan perusahaan tersebut hanya dibebaskan dari penjara setelah mereka menyetujui untuk melakukan investasi di sektor manufaktur strategis seperti baja, semen, barang elektronik, dan sebagainya. Sebagai contoh, Samsung yang sebelumnya hanya berperan Peristiwa tersebut merupakan cikal bakal model pembangunan yang digunakan oleh Korea Selatan untuk membawa negara tersebut menjadi negara maju dalam hanya satu generasi. Dalam model ini, birokrat-birokrat dan pimpinan swasta berkoordinasi dengan erat untuk memahami tantangan struktural yang dihadapi oleh swasta untuk memasuki sektor-sektor strategis. Pemerintah memberikan dukungan melalui subsidi ekspor, keringanan pajak, pemberian pinjaman ekspor di tingkat suku bunga di bawah tingkat pasar, dan kebijakan intervensionis lainnya. Namun, kebijakan ini tidak hanya melibatkan bantuan ke swasta saja, namun dibarengi juga dengan target-target yang harus dipenuhi. Bantuan hanya akan diberikan jika perusahaan sukses memenuhi target kinerja ekspor atau pertumbuhan tertentu. Target-target ini memastikan terwujudnya export dan performance discipline yang mengurangi kemungkinan terjadinya inefisiensi dan perilaku korup antara birokrat dan pimpinan perusahaan. Program pembangunan industri ini juga dikelola langsung oleh kekuasaan eksekutif tertinggi, yaitu Presiden, sehingga program ini dilakukan dengan political willpower yang tinggi serta mengurangi kemungkinan mismanagement.

Contoh-contoh historis ini membuktikan bahwa transformasi struktural tidak bisa hanya dibiarkan ke swasta melalui kebijakan lassez-faire. Peran swasta sangat penting dalam mendorong komersialisasi suatu teknologi baru, serta menghasilkan inovasi baru yang meningkatkan daya guna teknologi tersebut. Namun untuk menghasilkan teknologi baru, dibutuhkan koordinasi dan akselerasi awal dari pemerintah dalam kasus negara maju. Dalam kasus negara berkembang, harus ada juga koordinasi dari pemerintah dan swasta agar swasta memahami dan memiliki insentif untuk memasuki sektor perekonomian yang dapat mendorong pembangunan. Diperlukan suatu bentuk reforma industri (industrial policy) dari pemerintah yang membantu swasta menginternalisasikan return dari investasi di sektor manufaktur. Dan hal ini semakin disadari oleh pemerintah di seluruh dunia: industrial policy is back on the menu. Bahkan Amerika Serikat yang selama ini dianggap sebagai negara yang paling lassez-faire dalam hal pembangunan industri mulai menyadari pentingnya pembangunan industri manufaktur terutama untuk golongan pekerja berpendapatan kecil dan menengah. Melalui inisiatif “Made in America”, pemerintahan Presiden Joseph Biden berusaha merevitalisasi kembali industri manufaktur Amerika Serikat melalui program public procurement, investasi publik dalam R&D, dan membawa kembali supply chain manufaktur ke Amerika Serikat. Inisiatif serupa juga dilakukan oleh negara-negara lain seperti Tiongkok (Made in China 2025), India (Make in India), dan juga dilakukan di Indonesia (Making Indonesia 4.0) meskipun reforma industri (industrial policy) tersebut belum serupa dengan skala masif reforma industri yang dilakukan negara Macan Asia.

Mungkin terbersit pertanyaan, mengapa kita perlu negara dalam mendorong inovasi di Indonesia, di saat kita sudah memiliki ekosistem teknologi startup swasta yang mumpuni? Sudah terdapat perusahaan-perusahaan startup domestik yang menjadi bukti bahwa Indonesia juga memiliki kemampuan untuk melakukan indigenous innovation. Namun, perlu dipahami bahwa kebanyakan perusahaan ini adalah perusahaan soft tech yang konsep awalnya sudah dibangun di negara lain seperti Tiongkok dan Amerika Serikat. Banyak dari perusahaan startup Indonesia merupakan platform jasa daring yang menemukan supply dan demand pasar, yang disesuaikan dengan konteks budaya dan preferensi masyarakat Indonesia, alias soft tech. Seperti yang sudah dijelaskan di bagian artikel sebelumnya, ini saja tidak akan cukup, yang kita perlukan adalah inovasi dalam manufaktur, alias hard tech. Sayangnya, iklim pembiayaan startup saat ini hanya menguntungkan perusahaan soft tech saja. Kebanyakan venture capital di Indonesia saat ini berorientasi pada pertumbuhan cepat dalam waktu yang sedikit, yang pastinya sulit dipenuhi oleh startup-startup deep tech yang membutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengkomersialisasi teknologi dan mengskala-kan produksi mereka. Kebanyakan venture capital juga lebih tertarik mengakses pasar domestik Indonesia yang besar, ketimbang membangun kapasitas startup agar mampu berdaya saing secara global. Mengingat kondisi tersebut, peran pemerintah sebagai venture capital alternatif menjadi semakin relevan.

Belajar dari Kesilapan Lampau

Secara historis, Indonesia pernah melakukan reforma industri skala besar (industrial policy) terutama pada dekade 1970-an. Rezim Orde Baru saat itu melakukan industrialisasi substitusi impor (ISI) dengan mendirikan BUMN-BUMN di sektor strategis seperti baja, perkapalan, dan pupuk. Namun, banyak dari usaha tersebut yang pada akhirnya hanya menjadi ladang pemburuan rente bagi kroni-kroni yang terhubungkan secara politik dengan kekuasaan eksekutif. Daya saing ekspor dan efisiensi produksi dinomorduakan oleh para kroni tersebut. Alhasil industrialisasi substitusi impor pada periode tersebut hanya menjadi beban bagi keuangan negara tanpa menghasilkan percepatan transformasi struktural yang berarti. Perencanaan reforma industri modern perlu belajar dari sejarah ini untuk memastikan kesalahan dan inefisiensi yang sama tidak terulang lagi. Harus ada perubahan paradigma dalam reforma industri dari picking winners (sektor-sektor tertentu) menjadi proses koordinasi dan kerja sama swasta-publik untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan hambatan struktural yang memperlambat transformasi struktural. Dalam hal ini, Rodrik (2004) merekomendasikan beberapa aspek yang harus dipenuhi untuk memaksimalkan probabilitas kesuksesan reforma industri. Pertama, harus ada koordinasi mutual antara pihak birokrasi publik dan pihak swasta agar pembuat kebijakan dapat memahami kondisi di lapangan serta hambatan yang harus diselesaikan. Kedua, harus ada standar kesuksesan yang menjadi tolak ukur dalam setiap bantuan yang diberikan kepada sektor swasta. Ketiga, harus ada sunset clause dalam setiap bantuan yang diberikan untuk mencegah inefisiensi. Keempat, aktivitas ekonomi yang disubsidikan harus memberikan dampak spillover dan eksternalitas signifikan terhadap sektor-sektor lain. Kelima, implementasi kebijakan harus dijalankan oleh agensi pemerintah dengan riwayat kompetensi dan keberhasilan. Keenam, harus ada proses pengawasan dari kekuasaan eksekutif tertinggi (tingkat kabinet atau presiden) yang memahami agenda reforma industri dan memegang tanggung jawab utama dalam menjalankan agenda tersebut.

Selain itu, reforma industri idealnya juga harus memprioritaskan sektor strategis yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi Indonesia ke perekonomian hijau. Perubahan iklim akan menjadi tantangan utama bagi pembangunan Indonesia dalam beberapa tahun ke depan, selain kewajiban Indonesia untuk memenuhi komitmen mengurangi emisi sesuai kewajiban Perjanjian Paris tahun 2015. Pembangunan perusahaan manufaktur sektor hijau seperti panel surya dan mobil listrik perlu diprioritaskan mengingat potensi pasar produk manufaktur tersebut yang besar selain manfaat utama dalam mempercepat proses transisi hijau. Dalam hal ini, Indonesia dapat mengambil inspirasi dari pemerintah Tiongkok yang berhasil menopang akselerasi inovasi mobil listrik melalui intervensi pemerintah yang tertargetkan dengan baik (Grafik 8). Usaha pemerintah saat ini untuk membangun industri manufaktur baterai listrik domestik merupakan sesuatu yang patut dipuji. Namun, reforma industri harus dilakukan secara komprehensif serta melibatkan banyak sektor dan aktivitas ekonomi lain yang saling terkait. Visi dari ‘Making Indonesia 4.0’ harus lebih diperlebar lagi, serta diberikan dukungan khusus dari kekuasaan eksekutif tertinggi. Selain itu, reforma industri harus juga dibarengi dengan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas melalui kolaborasi perguruan tinggi-industri serta pembangunan pendidikan vokasi berkualitas tinggi yang dapat menjadi sumber tenaga kerja bagi industri manufaktur. Reforma industri harus menjadi salah satu prioritas utama pembangunan, selain pembangunan human capital dan infrastruktur. Yang pasti, paradigma pembangunan harus diubah. Pembangunan adalah usaha yang melibatkan banyak aktor dalam perekonomian dan tidak bisa hanya didorong oleh sektor publik atau sektor swasta sahaja. Serupa dengan pengalaman yang berlaku di negara-negara Macan Asia, negara dan swasta harus bergandengan tangan secara sinergis — the visible hand of the state and the invisible hand of the market should lead the way together.

Grafik 8: Tahapan Pengembangan Kebijakan Mobil Listrik Tiongkok. Sumber: Altenburg & Assmann (2017)

Kesimpulan

Menjadi negara maju bukan sesuatu yang mudah, dan sejarah sudah membuktikan bahwa banyak negara yang akhirnya gagal menempuh jalan menuju kemajuan. Dalam kasus Indonesia, hal ini dipersulit lagi oleh detransformasi struktural yang dialami Indonesia: resource curse dan deindustrialisasi prematur. Untuk membawa Indonesia kembali ke jalan yang tepat, Indonesia dapat belajar dari sejarah negara lain seperti Korea Selatan yang sukses menaiki tangga menuju kemajuan. Peran sektor publik dalam mendorong transformasi ekonomi tidak boleh dikesampingkan. Reforma industri (industrial policy), dengan negara yang memegang peran sebagai ‘venture capital’, sangatlah diperlukan untuk merevitalisasi kembali sektor manufaktur agar dapat menjadi mesin pertumbuhan yang membawa Indonesia ke status negara maju sebelum tahun 2045.

Jam terus berdetak. Waktu kita hanya tinggal 24 tahun lagi untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Kita harus memulai langkah sekarang agar cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk menjadi negara maju dapat tercapai dalam hayat kita.

Ditulis oleh Faris Abdurrachman

Disunting oleh Rama Vandika Daniswara dan Sainsna Demizike

Referensi

ADB (2019). Policies to Support the Development of Indonesia’s Manufacturing Sector during 2020–2024: A Joint ADB–BAPPENAS Report. Asian Development Bank.

Adler, D. (2020, February 20). Korean Industrial Policy: From the Arrest of the Millionaires to Hallyu. Diperoleh dari https://americanaffairsjournal.org/2020/02/korean-industrial-policy-from-the-arrest-of-the-millionaires-to-hallyu/

Altenburg, T., & Assmann, C. (Eds.). (2017). Green Industrial Policy. Concept, Policies, Country Experiences. Geneva, Bonn: UN Environment; German Development Institute/Deutsches Institut für Entwicklungspolitk (DIE)

Basri, F. (26 Maret, 2019). Indonesia Telah Menjelma sebagai Pekonomian Jasa. Diperoleh dari https://faisalbasri.com/2019/03/15/indonesia-telah-menjelma-sebagai-pekonomian-jasa/

Chang, H. (2007). Kicking away the ladder: Development strategy in historical perspective. Anthem Press.

Cherif, R., & Hasanov, F. (2019). The Return of the Policy That Shall Not Be Named: Principles of Industrial Policy. IMF Working Papers, 19(74), 1. doi:10.5089/9781498305402.001

Greece > China. (2012). The Economist. Diperoleh dari https://www.economist.com/free-exchange/2012/06/19/greece-china

Made in Somewhere Else: How Premature Deindustrialization Undermines the Development of Indonesia and other Emerging Economies. (2 Maret 2020). Diperoleh dari https://ksr.hkspublications.org/2020/03/02/made-in-somewhere-else-how-premature-deindustrialization-undermines-the-development-of-indonesia-and-other-emerging-economies/

Mazzucato, M. (2015). The entrepreneurial state: Debunking public vs. private sector myths. Anthem Press.

Rodrik, D. (2004). Industrial policy for the twenty-first century.

Rodrik, D. (2013). Unconditional convergence in manufacturing. The Quarterly Journal of Economics, 128(1), 165–204.

Wihardja, M. M. (2016). The effect of the commodity boom on Indonesia’s macroeconomic fundamentals and industrial development. International Organisations Research Journal, 11(1), 39–54.

World Bank. (2012). Picking up the Pace: Reviving Growth in Indonesia’s Manufacturing Sector.

Yusuf, A. A. (2020, September 09). Proyeksi Pertumbuhan Indonesia 2045. Diperoleh dari https://twitter.com/anshory72/status/1303637813909315584?s=20

--

--

Progresa

A student-run think tank with the primary goal of advocating progress and promoting awareness of the issues of the future