Solarpunk 2077: Reimagining the Future Through Green-Tinted Lenses

Progresa
9 min readAug 7, 2021

--

“Night City bukanlah kota yang memberikan pilihan! Nasib terbaik kita adalah untuk tidak pernah dilahirkan sama sekali!” teriak Kerry Eurodyne, karakter dari permainan video Cyberpunk 2077, di tengah-tengah baku tembak antar kelompok penjahat siborg dengan senjata hiper-futuristik. Cuplikan dialog diatas menggambarkan kelamnya kehidupan di dalam dunia distopia yang menjadi latar utama permainan video tersebut; penduduk kota yang tidak memiliki pilihan untuk membangun penghidupan yang layak serta kekejaman jalanan dengan dukungan senjata mahacanggih yang semakin merajalela. Kekelaman dan kesuraman kehidupan kota masa depan merupakan pemandangan yang khas dalam karya seni cyberpunk: sebuah sub-genre fiksi ilmiah spekulatif yang menggambarkan kehidupan masa depan di mana perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan tidak disertai dengan kemajuan peradaban dan masyarakat. Atau dengan kata lain; high in tech, low in life.

Ironisnya, jalan yang saat ini umat manusia sedang tempuh — ditandai dengan meroketnya pertumbuhan korporasi teknokapitalis raksasa, melebarnya ketimpangan sosioekonomi, memudarnya demokrasi dan bangkitnya rezim-rezim opresif, hingga bencana multidimensional dari krisis iklim yang hampir tidak terhindarkan — semakin mendekatkan kita kepada masa depan a la cyberpunk yang kelam dan menyedihkan.

Akan tetapi, apakah itu menjadi satu-satunya takdir umat manusia? Berakhir di dalam kerangkeng teknokapitalis raksasa, di tengah-tengah kota yang megah nan canggih, tetapi dengan peradaban yang membusuk hingga tidak dapat lagi ditemui kemanusiaan di dalamnya?

Tentu saja tidak. Lahir dari pandangan optimis mengenai masa depan umat manusia, ada satu sub-genre fiksi ilmiah yang sedang berkembang dalam beberapa tahun ke belakang: solarpunk.

Enter Solarpunk

“One day, we’ll all stand equal under the sun.”

Ilustrasi: Kota Solarpunk “Future Economic View of Innocence.” Gambar: Munashichi.

Solarpunk merupakan salah satu sub-genre fiksi ilmiah spekulatif yang menggambarkan optimisme masa depan dan harmoni manusia dengan teknologi dan alam. Estetika dari solarpunk sedikit banyak menggambarkan visi sosio-politik yang mendasarinya, yaitu upaya dalam mencapai dunia dimana manusia meleburkan dirinya dengan alam dan teknologi dengan terlepas dari segala sistem eksploitatif yang selama ini membelenggu peleburan tersebut, serta disokong oleh pemanfaatan teknologi dan sistem energi yang bersih, adil dan beradab. Solarpunk merupakan antitesis dari cyberpunk: jika dunia distopis cyberpunk dapat dirangkum sebagai “high tech, low life,” maka solarpunk dapat dirangkum sebagai dunia yang “low carbon, high life,” dimana kehidupan yang sejahtera dapat dicapai dengan meminimalisir produksi karbon yang merusak keselarasan alam. Akan tetapi, berbeda dengan visi dunia rendah karbon lainnya yang memiliki kecenderungan anti-teknologi seperti anarko-primitivisme dan ekofasisme, solarpunk mendorong penggunaan dan kemajuan teknologi dalam kehidupan manusia, ia hanya menolak teknologi yang tidak selaras dengan keberlangsungan alam.

Ilustrasi: Nausicaä terbang mengitari Lembah Angin. Gambar: Studio Ghibli

Solarpunk merupakan kritik atas cara hidup umat manusia selama ini. Ia mengetahui bahwa ada sesuatu yang salah secara fundamental dengan cara manusia menjalankan kehidupannya di bumi. Tujuan utama dari solarpunk adalah untuk memberikan solusi dari masalah-masalah tersebut, estetikanya mengandung visi dan panduan untuk meraih masa depan yang ideal bagi umat manusia; dimana teknologi, kesejahteraan, dan keseimbangan alam, hidup berdampingan dan berselaras bersama.

The Need for a New Paradigm

Jika ditelusuri lebih dalam, frasa solarpunk pertama kali ditelurkan oleh sebuah blog yang bernama Republic of the Bees pada tahun 2008. Tulisan tersebut membahas soal teknologi purwarupa kapal kargo yang menggunakan tenaga angin dalam upaya penghematan energi. Istilah solarpunk akhirnya berkembang menjadi salah satu alternatif dalam genre fiksi ilmiah spekulatif, bersama dengan cyberpunk, dieselpunk, dan steampunk. Berangkat dari sana, solarpunk menginspirasi berbagai gerakan, baik dalam seni, arsitektur, politik, budaya, hingga kebijakan lingkungan (Sylva, 2015). Selain menggambarkan visi atas masa depan yang penuh kemakmuran dan kelestarian, solarpunk juga digambarkan sebagai proses pemberontakan dan kontra-kebudayaan yang secara ideologis menentang berbagai eksternalitas negatif yang selama ini dipelihara oleh sistem-sistem hegemonik seperti proses akumulasi kapital yang meminggirkan hal-hal etis, ketimpangan sosioekonomi, perusakan lingkungan secara masif dan sistemik, serta kontrol besar-besaran atas kemerdekaan individu oleh korporasi dan negara.

Namun, jika kita melihat balik, bukan tanpa alasan mengapa skena fiksi ilmiah spekulatif memiliki kecenderungan untuk menjadikan pesimisme sebagai premis utamanya. Tanpa arah pembangunan yang mengutamakan konsep keberlanjutan dan harmoni antara manusia dan alam, kelangsungan kehidupan di muka bumi terancam rusak untuk selama-lamanya. Dengan bumi yang sedang menuju ke arah kenaikan temperatur permukaan tiga derajat celsius pasca-revolusi industri, paradigma pembangunan yang berkelanjutan semakin mendesak untuk dilakukan. Sebagai contoh, konsep pembangunan yang selama ini bergantung pada energi fosil terbukti menyebabkan berbagai efek negatif pada lingkungan, serta makhluk hidup yang tinggal di dalamnya. Berbagai efek tersebut terjadi secara sistemik dari hulu hingga hilir rantai pasok energi fosil. Dari perusakan tanah dan pencemaran lingkungan akibat kegiatan ekstraktif, hingga peningkatan emisi karbon di atmosfer akibat proses pembakaran energi yang menjadi salah satu faktor utama dari terjadinya krisis iklim. Artinya, umat manusia harus segera memperbaharui paradigma pembangunannya jika ingin bertahan di masa depan.

Ilustrasi: Pemukiman padat penduduk masa depan. Gambar: Arturo Gutiérrez.

Dari situ, solarpunk membawa ide yang sudah selangkah lebih maju: konsep pembangunan yang ideal seharusnya tidak abai dengan keselarasan alam. Dengan menjadikan pemanfaatan teknologi dan sistem energi yang terbarukan dan ramah lingkungan sebagai salah satu ide dasarnya, ia memberikan solusi yang praktis, bahkan bagi para pembuat kebijakan di masa sekarang. Dengan meningkatnya perkembangan dalam teknologi energi terbarukan dalam beberapa tahun ke depan, umat manusia akan segera menikmati pembangunan dan peningkatan dalam kualitas hidup dengan jauh lebih sedikit, atau bahkan tanpa efek negatif terhadap lingkungan.

A Solarpunk Manifesto

Kata “solar” dalam solarpunk dapat diartikan sebagai kecerahan dan kecemerlangan dalam hidup: kontras dengan kegelapan yang ada di dalam dunia nyata dan genre fiksi ilmiah spekulatif lainnya. Kecerahan juga menyimbolkan sang surya sebagai sumber energi utama di masa depan. Energi surya dipandang sebagai energi yang bersih, berlimpah, dan tidak merusak. Lalu sahihlah kesimpulannya, bahwa unsur ”solar disini melambangkan proses manunggaling antara teknologi, alam, dan umat manusia.

Lalu istilah “punk” dalam solarpunk memiliki dua makna inti, yakni: pemberontakan dan kontra-kebudayaan. Pemberontakan disini diartikan sebagai perlawanan atas sistem-sistem hegemonik yang dianggap lebih banyak membawa mudharat dibandingkan manfaat, baik untuk kelangsungan alam maupun manusia. Sedangkan kontra-kebudayaan memiliki arti bahwa gerakan solarpunk berbanding terbalik dengan hegemoni budaya yang selama ini terbangun di dalam skena fiksi ilmiah alternatif. Dengan mengutamakan optimisme, kebahagiaan, serta empati sebagai pandangan utama di dalamnya, solarpunk menentang sifat-sifat seperti pesimisme dan egoisme yang selama ini dominan dalam karya fiksi ilmiah spekulatif.

“So much for dystopian and apocalyptic science fiction, solarpunk is a reaction against that; it is a desire to see a future I want to live in and that I want to be a part of making.”

- Sarena Ulibarri

Fiction as a Tool of Change

Imajinasi dan visi atas masa depan suatu masyarakat sedikit banyak dipengaruhi oleh jenis media yang secara bebas diproduksi dan dikonsumsi, you are what you eat, after all. Sejak awal peradaban, manusia menggunakan fiksi sebagai wahana hiburan dan penceritaan kisah-kisah yang hebat. Akan tetapi, melebih dua hal tersebut, cerita fiksi dapat digunakan untuk menginspirasi generasi selanjutnya tentang apa saja hal-hal yang umat manusia dapat raih. Terlebih genre fiksi ilmiah, yang memberikan gambaran atas segala kemungkinan yang ada di masa depan, baik kemungkinan yang bisa kita kendalikan maupun yang tidak. Sayangnya, karena genre solarpunk masih cenderung baru dalam skena fiksi ilmiah, belum banyak karya-karya besar yang lahir dengan membawa tema, premis, dan unsur-unsur estetisnya.

Salah satu contoh karya blockbuster yang paling mendekati estetika dari solarpunk adalah film Black Panther. Negara Wakanda yang menjadi latar utama film tersebut mungkin merupakan penggambaran Hollywood yang paling dekat atas dunia utopis dari solarpunk; sebuah negara dimana tercipta harmoni atas kelangsungan hidup manusia, alam, dan teknologi. Wakanda seolah-olah menunjukkan bahwa kehidupan tradisional yang lekat dengan alam juga dapat hadir berdampingan dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat.

Selain film Black Panther, film-film keluaran Studio Ghibli juga lekat dengan tema dan pembawaan genre solarpunk dengan adanya fokus cerita yang berpusat di sekitar harmoni antara manusia dan alam. Studio Ghibli merupakan salah satu — jika bukan satu-satunya — studio animasi besar yang selalu berhasil memadukan visual yang ciamik dengan nuansa estetis solarpunk. Terlebih lagi, pembawaan cerita dari film-film Studio Ghibli hampir selalu berakhir dengan indah dan memuaskan, mencerminkan visi yang hangat dan utopis a la solarpunk. Dua film dari Studio Ghibli yang paling menjiwai dan mewakili estetika solarpunk adalah Laputa: Castle in the Sky dan Nausicaä of the Valley of the Wind.

Ilustrasi: Pemandangan urban di negara Wakanda, sangat kontras dengan daerah urban di dunia nyata.
Foto: Marvel Studios.

“Mau dibawa kemana peradaban ini?,” “Masalah apa saja yang akan datang di masa depan?,” “Apa solusi dari masalah-masalah tersebut?,” merupakan segelintir pertanyaan yang biasanya menjadi inti dari sebuah cerita fiksi ilmiah. Memang betul bahwasannya cerita tentang masa depan yang muram durja penuh dengan kekerasan dan teknologi mahacanggih seperti yang ada di dalam epos-epos cyberpunk sangat menarik sebagai media hiburan. Namun, dengan meningkatnya berbagai risiko katastrofe yang dapat terjadi di masa depan, kita membutuhkan paradigma lain sebagai media untuk membayangkan kembali masa depan kita secara optimis. Seperti yang dikatakan oleh Misseri (2017, dikutip dari Reina-Rozo, 2021) bahwa “pengarang cerita fiksi ilmiah merupakan desainer politik,” ini dapat disimpulkan bahwa segala bentuk karya fiksi ilmiah — baik utopis maupun distopis — merupakan suatu refleksi dari relasi kuasa dan segala keadaan riil yang ada di dunia nyata. Coba bayangkan, ada berapa banyak insinyur-insinyur aeronautika handal yang pada masa kecilnya terinspirasi oleh pesawat X-Wing dan TIE Fighter dari film Star Wars? Ahli astronomi yang impiannya tumbuh setelah menonton film Alien karya Ridley Scott? Ahli kecerdasan buatan yang terinspirasi oleh film Her (2013) karena ketidakcakapannya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis? (baiklah, yang terakhir agak bercanda).

Ilustrasi: Theodore dari film Her (2013) dan kekasih buatannya, Samantha. Foto: Annapurna Pictures.

Dalam keadaan yang penuh kesengsaraan dan dukacita seperti sekarang, dunia sangat membutuhkan visi optimis dalam memandang masa depan, dan solarpunk berhasil menyuguhkannya secara brilian; Hamparan kota cantik dan hijau penuh dengan kehidupan yang makmur nan lestari, teknologi dan sistem penghidupan yang tumbuh dengan pesat secara adil dan beradab, kehidupan manusia yang kaya akan budaya dan selaras dengan alam sekitar. All we have to do is to imagine, and look forward.

Written by: Rayhan Prabu Kusumo
Edited by: Roes Regi Lufti
Illustrated by: Gayatri Wulansari

References

Publikasi Ilmiah

Heldt, E. C., & Schmidtke, H. (2019). Global Democracy in Decline?. Global Governance: A Review of Multilateralism and International Organizations, 25(2), 231–254.

Johnsson, F., Kjärstad, J., & Rootzén, J. (2019) The threat to climate change mitigation posed by the abundance of fossil fuels. Climate Policy, 19(2), 258–274.

Milanovic, B. (2013). Global Income Inequality by the Numbers: in History and Now. Global Policy, 4(2), 198–208.

Reina-Rozo, J. (2021). Art, energy, and technology: the Solarpunk movement. International Journal of Engineering, Social Justice and Peace, 8 (1), 47–60.

Suarez-Villa, L. (2001). The Rise of Technocapitalism, Science & Technology Studies, 14(2), 4–20.

Laporan dan Artikel Daring

Frankfurt School-UNEP Centre/BNEF. (2019). Global Trends in Renewable Energy Investment 2019.

Johnson, I. (2020, 1 Mei). “Solarpunk” & the Pedagogical Value of Utopia. Journal of Sustainability Education Ecomedia Literacy Scholarly Features. http://www.susted.com/wordpress/content/solarpunk-the-pedagogical-value-of-utopia_2020_05/

Koubi, V. (2019). Sustainable development impacts of climate change and natural disaster. UN: Gathering Storms and Silver Linings.

Sylva, R. (2015). Solarpunk: We are golden, and our future is bright. Sci-Fi Ideas. www.scifiideas.com/writing-2/solarpunk-we-are-golden-and-our-future-is-bright/

The Economist. (2021, 24 Juli). Three degrees of global warming is quite plausible and truly disastrous. The Economist Briefing. Retrieved from https://www.economist.com/briefing/2021/07/24/three-degrees-of-global-warming-is-quite-plausible-and-truly-disastrous

The Economist. (2020, 14 Desember). What is cyberpunk? The Economist explains. https://www.economist.com/the-economist-explains/2020/12/14/what-is-cyberpunk

Velay-Vitow, J. (2021, 6 Maret). Climate Change is Inevitable. Palladium Magazine. https://palladiummag.com/2021/03/06/climate-change-is-inevitable/

--

--

Progresa

A student-run think tank with the primary goal of advocating progress and promoting awareness of the issues of the future